Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Sembarangan Libatkan Militer dalam Pemberantasan Teror
Oleh : Irawan
Rabu | 29-06-2016 | 08:36 WIB
dikusi_terorisme.jpg Honda-Batam

Diskusi Arah Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah dan DPR diingatkan untuk berhati-hati dalam merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Harapannya agar jangan sampai revisi justru malah menjadi langkah mundur karena pelibatan militer yang berlebihan.

Menurut peneliti terorisme, Prof (ris) Hermawan Sulistyo, teror sesuai definisinya adalah membangkitkan ketakutan. Namun, katanya, teror bukanlah perang karena yang jadi sasaran adalah masyarakat sipil sehingga keterlibatan militer pun harus dibatasi..

"Karena itu (teror) ranah sipil, maka harus ada proses hukum. Harus ada akuntabilitasnya mengapa seseorang mati dan siapa yang membunuhnya," ujar Hermawan dalam diskusi bertema Arah Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme di pressroom DPR RI, Selasa (28/6/2016).

Ia menegaskan, upaya pemberantasan teror juga bukanlah perang. Karenanya pemberantasan teror jangan ditarik ke sektor pertahanan.

"Kalau perang tidak perlu akuntabilitas siapa yang menembak. Seribu tentara mati kalau perang tak perlu ditanya matinya kenapa," tegasnya.

Ia justru memuji Polri yang sebenarnya sudah maju dalam mengatasi teror. Salah satu contohnya adalah Bom Thamrin.

"Siapa bilang bom Thamrin itu kecolongan? Dua menit setelah insiden pertama sudah ada tembak-tembakan. Dan ternyata ada dua bom yang lebih besar tidak meledak," tegasnya

Pembicara lainnya, Direktur Imparsial, Al Araf mengatakan, pemberantasan terorisme sebaiknya tak melibatkan militer. Menurutnya, pemberantasan teror dengan cara militer justru akan mengesempingkan HAM dan akuntabilitas.

Al Araf menambahkan, pemberantasan teror harus tetap ditempatkan dalam criminal justice system seperti yang sudah berlaku saat ini. Sesuai Statuta Roma, katanya, teror dikategorikan sebagai kejahatan serius (serious crime), bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). “Jadi tak perlu penanganannan ekstra sampai melibatkan milter,” katanya.

Lebih lanjut Al Araf mengatakan, sungguh aneh jika pemerintah menggunakan pendekatan perang sebagai pengganti criminal justice system untuk memerangi teroris. Sebab, Indonesia sudah memisahkan antara pertahanan dan keamanan.

Indonesia memang pernah memiliki UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. Namun, UU itu sudah direvisi sehingga sektor keamanan dan pertahanan dipisahkan. Akhirnya ada UU khusus Polri dan UU khusus TNI.

"Fungsi pertahanan dengan penegakan hukum itu berbeda. UU Antiteros sebaiknya tetap pada criminal justice system," katanya.

Anggota Pansus RUU Antiterorisme, Sarifuddin Sudding mengatakan, terorisme memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa. Namun, politikus Hanura itu tetap berpendapat bahwa pelibatan TNI tetap harus dibatasi.

"Ingat, undang-undangnya menyebut TNI hanya membantu, sedangkan pemberantasan (kewenangan penindakan) tetap ada di polisi. Di bawah Pak Tito (Tito Karnavian, red), kita harapkan penanganan teror lebih baik," katanya.

Ia menambahkan, Pansus RUU Antiterorisme saat ini masih terus menyerap berbagai masukan. Termasuk tentang kemungkinan keterlibatan TNI.

"Keterlibatan TNI itu spesifik, ada batasan-batasannya dan aspek tertentu. Misalnya teror kepada kepala negara, teror di luar negeri," katanya.

Editor: Surya