Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Batam Diperjelas Menjadi Tak Jelas
Oleh : Opini
Jum'at | 27-05-2016 | 12:10 WIB
ampuan-situmeang-baru.jpg Honda-Batam

Ampuan Situmeang, praktisi hukum di Batam.

Oleh: Ampuan Situmeang*

MENGUBAH berbagai peraturan/regulasi yang mengatur Batam, mengubah kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap belum maksimal, mengubah struktur lembaga yang mengelola dan mengawasi kegiatan di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba di perjalanan proses pelaksanaan tugasnya semua struktur kelembagaan diganti, maksudnya agar diperjelas.

Namun, semua menjadi tak jelas. Padahal, alasannya adalah untuk memperjelas status pemerintahan, memperjelas hubungan kerjasama antara BP dan Pemko Batam, memperjelas tumpang tindih penggunaan tata ruang, memperjelas penguasaan dan pengelolaan kewenangan atas lahan, menghilangkan dualisme kewenangan agar jelas, memperjelas (Free Trade Zone) FTZ, yang diatur dengan UU 36/2000, mengubah menjadi (Kawasan Ekenomi Khusus) KEK, yang diatur menjadi UU 39/2009.

Juga memperjelas UWTO (Uang Wajib Tahunan Otorita) hapus atau tidak, memperjelas ini, memperjelas itu, namun semuanya tak kunjung jelas. Dan sekarang pun BP Batam menjadi tak jelas. Pemimpinnya pun, dipilih dan direkrut dengan prosedur yang tak jelas alias (maladministrasi), katanya Ombusdman Perwakilan Provinsi Kepri. Menjadi tak jelas.

Kalau legitimasi personalianya saja masih penuh kontroversi, maka bagaimanalah mungkin dapat diharapkan memperjelas arah pembangunan di Batam. Sebaiknya, sesuai saran Ombusdman Kepri, diperbaiki dululah perekrutan personalia dalam struktur kelembagaan FTZ itu. Atau sekalian dialihkan saja ke Pemko Batam, untuk sekalian memperkuat kelembagaan kelembagaan otonomi daerah, sebagai satu-satunya payung kewenangan dalam menjalankan tugas pemerintahan daerah. Atau aturan hubungan kerja yang diamanatkan UU pembentukan Batam sebagai daerah otonom diwujudnyatakan, dalam bentuk peraturan pemerintah.

Masalah Batam harus dipetakan dan dikotak-kotakkan, jangan dicampur aduk antara masalah hak pengelolaan lahan, kewenangan yang duplikatif, tata ruang, dan lain sebagainya. Karena masalah akan selalu ada dan memerlukan pembidangan serta spesialisasi dalam mengelolanya supaya tujuan pembangunan dapat terjadi.

Pemerintah pusat jangan merasa paling tahu segalanya, sehingga tidak membuka ruang dialog untuk menampung masukan dari bebagai sektor, untuk dirumuskan menjadi produk kebijakan pemerintah. Karena nama kabinet sekarang adalah Kabinet Kerja bukan kabinet wacana, yang justru menimbulkan kesimpangsiuran di mana-mana.

Semoga pengembangan Batam ke depan bukan atas kehendak sepihak, melainkan dilandasi oleh musyawarah untuk mufakat. Untuk itu, diperlukan konsistensi kebijakan dan regulasi dalam mengembangkan Batam ke depan, oleh karena itu para pengusaha dan asosiasi pengusaha perlu satu pemahaman dan tidak membawa kepentingan masing-masing dengan mengabaikan kepentingan bersama. Karena pada ahirnya semua pihak di Batam akan menjadi mudah diombang-ambingkan oleh pemerintah pusat yang tidak memahami konteks dan substansi permasalahan di Batam, yang pada akhirnya juga akan merugikan tujuan kawasan strategis nasional yang diamanatkan oleh UU.

Lontaran isu yang dilemparkan oleh Pemerintah Pusat adalah datangnya dari kelompok-kelompok yang sendiri-sendiri bermaksud mau menata pengembangan Batam ke depan. Padahal mereka lupa, bahwa untuk menata pembangunan Batam ke depan harus dengan musyawarah bersama untuk meminimalkan benturan kepentingan, di antara kelompok-kelompok kepentingan yang ada di Batam sebagai sesuatu yang perlu menyatukan tujuan dalam melakukan kesepakatan perubahan kepada perbaikan, bukan merusak tatanan yang sudah tersusun.

Seperti mengubah FTZ menjadi KEK, ini akan memakan waktu dan kekisruhan yang sangat berisiko, dan terbukti sudah pernah gagal. Semoga semua dapat memahaminya dengan positif, karena Kadin tidak apriori dengan KEK, namun ruang lingkup yang sudah di tata selama ini tidak lagi memungkinkan penerapan konsep KEK, di Batam, yang perlu dilakukan adalah melaksanakan konsep FTZ yang sesuai dengan amanat UU, tidak dibelokkan, tidak dibelenggu, atau plintir-plintir, sehingga FTZ justru lebih rumit dari daerah pabean lainnya.

Dalam periode mulai dari bulan November 2015 sampai dengan sekarang, masyarakat Batam pada khususnya diliputi oleh simpang siur informasi. Sesunggunya Batam ini mau dikembangkan seperti apa, istilah FTZ dan KEK yang dipermasalahkan juga secara substansi tidak jelas apa yang menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaanya di Batam, juga di tempat lain di Indonesia sebagai perbandingannya.

Sebetulnya, masalah yang melambatkan laju kecepatan pengembangan Batam dalam kegiatan industri, pembangunan, dan kegiatan ekonomi lainnya, bukan pula karena adanya dualisme, atau overlap tata ruang. Bahwa itu harus dibenahi, ya, betul. Awalnya isu yang kuat adalah pembubaran BP Batam.

Mendagri menuding ada dualisme kewenangan, ada pertentangan norma otonomi dengan norma kelembagaan yang awalnya dari otorita Batam kemudian beralih menjadi kewenangan BP Batam. Iu artinya Otorita Batam tetap jiwanya hidup dalam tubuh organisasi BP Batam, orang atau Sumber Daya Manusianya (SDM)-nya sama, objek yang dikelola juga tetap dominan sama. Kemudian beralih ke isu pengambilalihan BP Batam oleh Pemerintah Pusat, kemudian sempat juga berlaih lagi ke mafia lahan dan isu lainnya sengaja dilontarkan ke publik. Namun yang ada saat ini, Batam diperjelas menjadi tak jelas.

*) Penulis adalah Praktisi/Peneliti Hukum Administrasi Negara, berdomisili di Batam.