Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Balada Lina, Mojang Bandung di Singapura
Oleh : Saibansah
Senin | 02-05-2016 | 08:00 WIB
linasing27.jpg Honda-Batam

Lapak Lina, mojang Bandung penjual es cream balok di Singapura. (Foto: Saibansah)

DUA puluh empat tahun sudah Lina meninggalkan kampung halamannya di Pasar Baru, Otto Iskandardinata Bandung. Memulai hidup sebagai seorang istri warga negara Singapura. Tak mau hanya duduk di rumah, wanita paruh baya itu pun membanting tulang menjual es cream balok. Bagaimana Lina merangkai hari di Singapura? Berikut tulisan wartawan BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani. 

 

Malam semakin larut, pengunjung di East Coast Lagoon Food Village Singapura juga sudah mulai meninggalkan meja makan mereka. Tapi Lina masih setia. Dengan earphone warna putih yang terhubung dengan ponsel pintarnya, Lina membunuh sepi menunggu pembeli.

Menjual es cream balok ini sudah dijalaninya sejak 12 tahun lalu. Jangan bayangkan, menjual es di Singapura sama dengan di kampung halamannya. Malam itu, Lina mematok harga Sing$1,20 untuk satu balok kecil es creamnya. Padahal, siang tadi, di kawasan Bugis Junction, harganya masih 1 dolar Singapura. Ya, di Singapura memang harga barang dan jasa di siang hari kadang tak sama dengan harga malam hari. Contohnya tarif taxi.

"Anak saya yang pertama sudah selesai program wajib militer. Sekarang melanjutkan kuliahnya," ujar Lina dalam perbincangannya dengan BATAMTODAY.COM malam itu. Tinggal menunggu beberapa menit lagi, ibu dua orang anak ini akan segera menutup payung dan menghidupkan "becak motornya".

Meski sudah 24 tahun menetap di Singapura, wanita yang pernah ditawari menjadi warga negara Singapura itu, masih lancar berbahasa Sunda. "Atos lami ti die? (sudah lama di sini)" Menjawab BATAMTODAY.COM dalam bahasa ibunya itu, mata Lina tampak berbinar, kaget. "Atos (sudah)."

Akhirnya, percapakan dalam Bahasa Sunda pun mengalir, mencairkan pertemuan tak disengaja itu. Lina mencopot earphone putihnya, lalu melanjutkan percakapan apa saja. "Kalau siang jual esnya di sekolah, tapi kalau malam di sini." Lina punya "lapak" di halaman parkir di akes masuk menuju kawasan makan malam di pinggir danau itu.

Lapak wanita yang sekilas mirip dengan face orang Singapura itu, tak pernah digusur. Karena, Lina cukup memarkir "becak motor"-nya. Lalu, mengembangkan payung terus duduk di atas jok sambil memutar lagu-lagu favoritnya.

Harus ada izin dari pemerintah untuk jual es seperti ini. Dengan mengantongi izin itulah, Lina bisa berjualan es yang enak itu sejak 12 tahun lalu. "Dulu saya pernah ditawari jadi warga negara Singapura, tapi saya tidak mau."

Biarlah suaminya saja yang memang berwarga negara Singapura, tapi Lina masih setia dengan paspor hijaunya. Merah putih masih ada di dadaya. "Sekarang sudah jarang pulang ke Bandung, orang tua sudah tidak ada. Jadi, ya saudara dari Bandung yang ke sini."

Memang, bagi para perantau, jika kedua orang tua sudah tiada. Maka, berkuranglah salah satu daya tarik utama untuk mudik. Apalagi, kini Lina sudah memiliki kehidupan bahagia dengan suami dan dua orang anaknya. Mereka membangun keluarga bahagia itu di Bedok Singapura.

Lina oh Lina.

Editor: Dodo