Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penanganan Terorisme Tanpa Melanggar HAM
Oleh : Opini
Rabu | 20-04-2016 | 11:33 WIB

Oleh: Andre Penas*

ADA dua kasus penanganan terorisme yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini,  mengingat kedua kasus ini  dikaitkan dengan  pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang dituduhkan kepada aparat negara. Salah satunya adalah tuduhan kepada Densus 88 Antiteror Mabes Polri, terkait kematian terduga teroris Siyono. Serta kasus penempatan narapidana teroris Abu Bakar Basyir (ABB) dan Aman Abdurahmman bin Ade Sudarma alias Oman Rahman ke blok isolasi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap Jawa Tengah. 

Siyono yang dituduhkan sebagai Kepala Staf Tholiyah Bithona atau Kepala Gudang Senjata Jaringan Jemaat Islamiyah pimpinan Soyoto alias Salim alias Jimmy, tewas setelah ditangkap di Klaten, Jawa Tengah. 

Terkait narapidana teroris, pemerintah membaginya ke dalam tiga kategori yakni, sebagai penyebar ideologi, kelompok garis keras serta simpatisan. Terhadap narapidana yang masuk dalam kategori penyebar ideologi maupun garis keras atau high risk karena berpotensi mempengaruhi narapidana lain, ditempatkan pada sel isolasi sehingga komunikasi dengan orang lain sangat terbatas. Sedangkan narapidana teroris kategori simpatisan masih disatukan dengan tahanan kasus lainnya. 

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, pemerintah menempatkan kedua narapidana tersebut di atas serta enam orang lainnya ke sel isolasi yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Dermaga Sodong yang tidak terjangkau sinyal telepon seluler, serta diawasi kamera pengawas. Mereka hanya boleh keluar saat mendapat kunjungan dari keluarga dua kali seminggu dengan pembatasan lima anggota keluarga inti atau pengacara, serta berkomunikasi dibatasi dengan kaca transparan. 

Akibat perlakuan tersebut, Tim Pengacara Muslim menuding pemerintah melecehkan ABB serta melanggar HAM. Disebutkan bahwa ABB selain dilarang keluar sel juga tidak dapat menjalankan kewajiban salat lima waktu dan salat Jumat berjamaah, intinya seluruh aktiviktas hanya dilakukan dalam sel berukuran 3 x 4 meter. 

Tim pengacara juga mengeluhkan kesehatan ABB  yang semakin parah karena  lokasi ruang sel berdekatan dengan hutan sehingga banyak nyamuk yang mengganggu saat istirahat malam. Petugas Lapas hanya memperbolehkan ABB  bertemu tim dokter, pengacara dan keluarga inti saja, sedangkan kerabat dan rekan lain yang dulunya kerap berkunjung tidak bisa lagi bertemu. 

Pengunjung juga tidak bisa bersalaman, karena ketika bertemu ada kaca transparan yang menghalangi. Sebagai tindak lanjut, tim pengacara melaporkan pelanggaran HAM itu kepada Presiden Joko Widodo dan ke DPR-RI serta akan menggugat Kementerian Hukum dan HAM.

Sementara itu, tewasnya terduga teroris Siyono memunculkan polemik yang berkepanjangan akibat perbedaan persepsi antara pihak Polri dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah serta Komnas HAM. Nampaknya ada pihak tertentu yang sengaja bermain di air keruh, mereka mencoba mengadu domba pihak kepolisian dengan PP Muhammadiyah.  

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Anton Charliyan mengatakan, lembaganya tengah menelusuri selebaran provokatif yang mengadu-domba polisi dengan ormas Muhammadiyah. Selebaran tesebut sempat  beredar di media sosial, mengajak seluruh korban salah tangkap kasus terorisme agar melapor ke Muhammadiyah. Untuk itu Direktorat Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Polri tengah menelusuri aktor penyebar selebaran tersebut. 

Jelas sekali kalau selebaran itu termasuk jenis ujaran kebencian yang berpotensi pidana. Karena itu publik berharap semoga Polri cepat menemukan pelakunya dan segera mengajkan ke pengadilan. Fitnah semacam itu dapat meningkatkan tensi politik, apalagi mereka juga sengaja memutarbalikkan fakta dengan menyatakan Kadiv Humas Polri menuduh PP Muhammadiyah pro-teroris sehingga menimbulkan polemik antara kedua lembaga. 

Padahal Kadiv Humas hanya mengatakan semua yang membela dan pro-teroris harus dilawan, bukan berarti menuduh  PP Muhammadiyah pro-teroris. Kasus yang menimpa Siyono disebabkan karena kesalahan prosedur dalam penangkapan, karena  itu seharusnya pula kepolisian secara terbuka menyerahkan anggotanya yang melakukan kesalahan diproses secara hukum, atau paling tidak ada sidang pelanggaran semacam sidang kode etik. Ini hanya kesalahan prosedur, terduga teroris tidak diborgol dan hanya dijaga satu petugas Densus. Kesalahan prosedur sepwerti ini harus dijadikan pelajaran berharga agar di lain waktu kasus seperti ini tidak terulang kembali. 

Perlawanan terhadap terorisme pasti menyangkut ideologi dan paham radikalisme, wajar jika pemerintah membatasi interaksi narapidana katagori penyebar idiologi dan garis dengan dunia luar. Diyakini sel isolasi merupakan salah satu cara efektif untuk meminimalisir berkembangnya paham radikalisme. 

Mereka yang termasuk dalam high risk tidak mungkin lagi bertobat  setelah menjalani masa hukuman, buktinya masih ada keterkaitan antara sejumlah aksi terorisme dengan para narapidana terorisme. 

Agar supaya pembinaan terhadap napi teroris kelas kakap ini bisa berjalan baik diperlukan Lapas khusus teroris yang dikelola Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Langkah tindak Kementerian Hukum dan HAM itu merupakan upaya untuk memutuskan mata rantai terorisme di tanah air, sama sekali bukanlah pelanggaran HAM.

*) Penulis adalah Pengamat Sosial dan Pertahanan