Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Transnasionalisasi Terorisme Invasi Dunia Teknologi Informasi
Oleh : Opini
Selasa | 19-04-2016 | 17:55 WIB
ISIS_telegraph.jpg Honda-Batam
(Sumber foto: Telegraph)

Oleh: Achmad Irfandi*

TERORISME merupakan kejahatan transnasional yang tidak kenal batas. Untuk menghadapinya pun harus dilakukan secara serius oleh semua pihak. Pemerintah Indonesia telah berupaya cukup maksimal dalam memutus mata rantai jaringan terorisme. Sejauh ini upaya tersebut sudah mampu melokalisasi kekuatan dalam negeri dengan jaringan internasional. 

Meski demikian, perubahan lingkungan strategis baik skala nasional maupun internasional serta kemajuan teknologi dan informasi yang begitu kencang membuat pola dinamika terorisme pun berubah. Fenomena radikalisme yang semakin luas merambah ke dunia maya (virtual world) menunjukan masih adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok/organisasi radikal dan teroris dalam menyebarkan paham radikalnya.

Pola transnasional terorisme justru semakin menemukan momentumnya ketika teknologi informasi seperti internet menjadi alat komunikasi populer di tengah masyarakat. Dengan perkembangan teknologi tersebut, kelompok terrorisme memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan faham radikal, juga untuk merekrut anggota baru. Pada 1988 Osama bahkan telah membentuk Departemen Media di dalam struktur organisasinya. Kini kehadiran media internet telah membuat medan perang itu semakin rumit. Media internet dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai kontranarasi dari media mainstream.

Upaya propaganda radikalisasi ini mudah menyebar keseluruh dunia karena perkembangan teknologi komunikasi, seperti maraknya berbagai aplikasi dan sarana media sosial serta kemudahan dalam mengakses berbagai situs media sosial dan media online lainnya. Selain website, media sosial juga telah menjadi alat cukup efektif bagi kelompok radikal terorisme sebagai instrumen propaganda, pembangunan jaringan, dan rekrutmen keanggotaan yang bersifat lintas batas negara. 

Kelompok ISIS menjadi satu model gerakan terorisme yang secara cerdas dan fasih menggunakan kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen keanggotaannya. Namun, yang menjadi permasalahan saat ini, belum semua publik menyadari bahaya dari propaganda kelompok tersebut.

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana cara melawan radikalisme didunia maya tanpa merugikan pengguna online? Tolok ukur apa yang bisa digunakan publik membedakan antara jurnalis dan propagandis –penyebar paham radikalisme? Dalam konteks kajian akademis, media literasi dapat digunakan sebagai bahan untuk melawan radikalisme di dunia maya. Media literasi berisi tiga aspek utama, yakni; pertama, knowledge pengakses internet. Minimal orang yang akan mengakses internet mengetahui hal yang dicari dan Knowledge membantu mereka dalam menterjemahkan berita yang ia terima, sehingga meminimalisir kesalahpahaman dalam pemaknaan.

Aspek kedua adalah skill, hal ini terkait dengan bagaimana dan untuk apa seseorang mengakses internet. Apakah seseroang mencari berita dari sumber-sumber berita yang terpercaya atau dari sumber yang belum jelas validitasnya. Aspek terakhir dalam media literasi yang efektif untuk digunakan melawan radikalisme adalah tentang sikap. Hal yang paling utama dari berita adalah sikap yang diambil masyarakat setelah menerima informasi dari internet, apakah menerimanya sebagai sebuah kebenaran atau menolaknya karena bertentangan dengan kewarasan.

Tampaknya, bukan hal yang terlambat bila kita saat ini memberikan porsi besar terhadap arus radikalisme di dunia maya ini, mengingat upaya propaganda radikalisasi mudah menyebar keseluruh dunia sehubungan dengan perkembangan teknologi komunikasi. Jadilah pengguna yang cerdas, jangan mudah terpengaruh oleh propaganda terorisme. Mari kita gunakan internet sebagai ilmu pengetahuan untuk membangun Indonesia. 

*) Penulis adalah Pengamat Politik Ekonomi Indonesia