Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengantisipasi Gejolak Pekerja Migas
Oleh : Opini
Jum'at | 08-01-2016 | 10:17 WIB

Oleh: Amril Jambak*

HARGA minyak mentah terus menurun sejak akhir 2014, saat ini harga minyak sekitar US$ 40-50 per barel. Hal ini berdampak pada turunnya gairah bisnis industri minyak dan gas bumi (migas).

Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita internasional CNBC beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berpendapat bahwa anjloknya harga minyak mentah yang terjadi akhir-akhir ini bukan sebuah kondisi yang akan berkelanjutan.

Menurutnya apa yang terjadi di pasar minyak mentah dunia hanyalah imbas dari “perang harga” alih-alih perubahan mendasar kondisi struktural pasar minyak mentah. Bambang sendiri memprediksi bahwa harga minyak mentah akan kembali meningkat pada tahun 2016 mendatang.

Harga minyak mentah Brent yang diperdagangkan di bursa London sendiri telah mengalami penurunan lebih dari 40 persen sejak bulan Juni lalu dan diperdagangkan dalam pola melemah (bearish) sejak bulan Oktober lalu. Harga minyak mentah tersebut telah mencapai posisi paling rendah dalam lima tahun belakangan.

Dengan makin anjloknya harga minyak mentah global banyak pihak berpendapat bahwa pemerintah seharusnya mengkaji kembali keputusannya untuk menaikkan harga BBM subsidi. Tetapi menurut Bambang penurunan harga minyak mentah global sebenarnya merupakan pedang bermata dua bagi Indonesia. Di satu sisi memang dengan penurunan harga minyak mentah global pemerintah memiliki ruang fiskal lebih besar dengan subsidi yang makin kecil.

Akan tetapi penurunan harga minyak tidak semerta-merta membuat beban pemerintah berkurang. Pasalnya, produksi minyak dalam negeri sudah sangat berkurang. Di samping itu Ketika harga minyak menurun, penerimaan juga menurun. Khususnya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) migas dan PPh (Pajak Penghasilan) migas, pasti turun.

Indonesian Petroleum Association (IPA) memprediksi bahwa makin anjloknya harga minyak mentah berpotensi untuk menghambat tercapainya target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipatok oleh Presiden Jokowi di level 7 persen untuk tahun 2015 mendatang.

Asosiasi tersebut memperingatkan bahwa anjloknya harga minyak mentah akan menurunkan pengeluaran di sektor energi sebesar 20 persen. Kondisi ini terjadi karena beberapa proyek energi akan kurang ekonomis dengan harga minyak yang mencapai di bawah level 70 dollar per barel.

Indonesia menerima penghasilan sekitar 200 hingga 300 triliun rupiah dari sektor migas, tergantung harga minyak mentah di tingkat global. Akan tetapi dipastikan pada tahun 2015 penghasilan yang akan diterima oleh pemerintah akan mengalami penurunan sebab sebelumnya asumsi APBN 2015 harga minyak berada di level 105 dollar per barel. Dalam artikel ini juga dinyatakan bahwa kemelut harga minyak global akan terjadi dalam waktu yang tidak sebentar. Perusahaan-perusahaan seperti ConocoPhillips dan Chevron telah menurunkan pengeluarannya untuk membiayai proyek energi baru.

OPEC juga telah memperkirakan permintaan minyak mentah yang diproduksi oleh negara-negara anggotanya akan mengalami penurunan tahun depan. Organisasi eksportir minyak mentah ini telah mengumumkan penurunan prediksi permintaannya di tahun 2015 dengan mengatakan bahwa permintaan akan berkurang sebesar 6 persen dibandingkan proyeksi sebelumnya atau turun sebesar 400 ribu barel per hari.

Perlambatan konsumsi di Eropa, Asia, serta Amerika Latin disinyalir OPEC sebagai penyebab utamanya. Iran serta Venezuela memperkirakan bahwa nantinya Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak mengurangi konsumsi minyaknya. Salah satu anggota OPEC yaitu Iran telah mewanti-wanti bahwa harga minyak bisa terus jatuh ke angka 40 dollar per barel jika organisasi kartel tersebut tidak melakukan sesuatu.

Memang penurunan harga komoditas yang dikonsumsi secara global menimbulkan dampak berkebalikan bagi konsumen dan produsennya. Produsen komoditas tersebut akan merasakan kerugian dari penurunan harga sebaliknya konsumen akan bersuka cita.

Indonesia sendiri meskipun sedikit juga masih menjadi produsen, sehingga dampak negatif juga akan terjadi jika harga minyak makin anjlok, belum lagi dampaknya terhadap penurunan harga komoditas unggulan lain seperti batu bara sampai kelapa sawit. Jadi, penurunan harga minyak bukan sesuatu yang serta-merta menguntungkan meskipun kelihatannya peristiwa ini telah mengurangi beban subsidi kita.

Namun ada yang harus diwaspadai dari kondisi ini, kondisi ini membuat industri migas mengurangi para pekerjanya, termasuk juga di Indonesia. Dengan kondisi ini menambah angka penggangguran di Tanah Air.

Seperti disampaikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, sejak akhir 2014 sampai saat ini tercatat ada sekitar 67.000 pekerja migas di Indonesia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri oil services, dan di perminyakan terjadi PHK 20 ribu orang.

Selain di sektor industri migas, SKK Migas sebagai kepanjangan tangan pemerintah di sektor pengelolaan hulu migas, juga melakukan efisiensi. SKK Migas pada tahun 2015 tidak melakukan penerimaan pekerja baru. Yang terjadi dilakukan pensiun atau PHK alami. Setiap tahun ada 5-6% usia pensiun. Ini cost reduction man power.

Dan jika harga minyak dunia masih terus menerus seperti ini, serta alih-alih efesiensi bagi perusahaan migas, diyakini angka pengangguran sektor migas akan semakin bertambah.

Jikalau mencermati ini, sudah seharusnyalah pemerintah memikirkan nasib pekerja tersebut serta mencari jalan keluar terhadap pekerja tersebut. Jangan sampai dunia engineering di bidang migas banyak kehilangan pekerjaan, dan dampaknya akan besar bagi  di kehidupan sosial yang semakin hari semakin rumit dijalani.

Kalaulah pekerja tersebut di PHK sudah memasuki usia pensiun, barangkali ini tidak akan jadi masalah. Yang jadi masalah itu adalah, PHK terjadi pada usia produktif.

Sekali lagi perlu diingat serta dicarikan solusi tepat agar gejolak dari pekerja migas tidak terjadi di Tanah Air ini. Dan marilah sama-sama direnungkan, dan pemerintah mau tidak mau harus mencarikan jalan keluar dari persoalan ini nantinya.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial.