Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mendukung Revisi UU Terorisme
Oleh : Redaksi
Sabtu | 16-05-2015 | 14:03 WIB

Oleh: Andre Penas*

BEBERAPA waktu lalu Kemenkominfo telah memblokir sejumlah situs Islam atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), karena dianggap turut menyebar paham radikal di tengah masyarakat.

Setelah memlalui berbagai proses, Kemenkominfo akhirnya membuka kembali 12 situs Islam yang diblokir. Diantaranya adalah hidayatullah.com; salam -online.com; aqlislamcenter.com; kiblat.net; gemaislam.com; muslimdaily.net; voa islam.com; dakwatuna.com; an-najah.net; eramuslim.com; dan  arrahman.com.

Status dari ke dua belas situs itu dinormalisasi dengan pengawasan, media-media ini terancam kembali diblokir jika pemerintah resmi merevisi UU No.15 tahun 2003 tentang Terorisme. Selama ini kendala terbesar yang dialamai aparat penegak hukum untuk menindak penyebar teror, kebencian dan permusuhan adalah UU Terorisme tidak menghatur pasal yang dapat menjerat kelompok tersebut.

Pemerintah dan DPR berencana merevisi Undang-Undang Terorisme agar dapat menjerat orang-orang yang menyebarkan kebencian dan permusuhan. Jeratan hukum terhadap kelompok penyebar kebencian ini merupakan cara ampuh untuk mencegah tindakan terorisme.

Saat ini marak ceramah, tulisan atau pernyataan orang-orang yang isinya mengganggap pihaknya paling benar dan menganggap kelompok lain termasuk negara atau pemerintah sebagai kafir. Intinya pemerintah mengusulkan agar kegiatan penyebaran kebencian harus masuk dalam kategori tindakan kriminal. 

Produk UU tersebut lebih bersifat reaktif atau hanya diberlakukan setelah kejadian teror, padahal propaganda mendukung kelompopk teroris seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) banyak dijumpai di media sosial, tetapi sulit dibendung. Belajar  dari negara lain,  untuk mengalahkan terorisme diperlukan tindakan proaktif.

Akibat kelemahan UU ini  aparat kepolisian tidak dapat melakukan upaya hukum terhadap orang-orang yang terbukti melakukan hal tersebut. Sebagai contoh, narapidana teroris di penjara Nusakambangan, Abu Bakar Ba’asyir diketahui telah melakukan ba’iat kepada pengikutnya untuk mendukung ISIS yang belakangan berubah menjadi Daulah Islamiyah alias Negara Islam (IS).

Meski pemerintah sudah menolak ISIS dan melarang pengembangan ideologinya di Indonesia, aparat  hanya mampu menjerat hukum pendukungnya jika terbukti melakukan tindak pidana. Sementara terkait penyebaran kebencian yang dilakukan Ustad ABB, otoritas penjara tidak berdaya karena regulasinya tidak ada dalam UU Terorisme. Aparat hukum juga tidak mampu melakukan tindakan hukum apapun, walaupun sejumlah anggota masyarakat terbukti melakukan sumpah setia untuk mendukung ISIS secara terbuka.  

Sejak lama Forum Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terdiri dari pimpinan organisasi massa Islam tingkat pusat telah menyampaikan pernyataan sikap terkait dengan keberadaan Daulah Islamiyah atau yang sebelumnya disebut Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Forum menilai  Daulah Islamiyah adalah gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam di Irak dan Suriah, namun tidak mengedepankan watak Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi alam semesta). Para pimpinan ormas Islam juga menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk tidak terhasut oleh provokasi Daulah Islamiyah, serta  menghimbau kepada seluruh lembaga Islam, organisasi, masjid, mushola untuk meningkatkan kewaspadaan dan melakukan upaya menangkal berkembangnya gerakan Daulah Islamiyah di Tanah Air. Mereka juga  mendukung langkah cepat, tepat dan tegas pemerintah untuk melarang gerakan Daulah Islamiyah di Indonesia dan mendorong pemerintah melakukan upaya penegakan hukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Karena itulah sekali lagi ditegaskan, untuk melakukan penegakkan hukum seperti yang diusulkan diatas, pemerintah perlu merevisi UU Terorisme.

Kepala BNPT  telah  mengusulkan beberapa perubahan pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Dijelaskan ada beberapa hal yang belum tercakup dalam UU Terorisme, di antaranya mengenai pemidanaan terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme, perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan, masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme, dan masalah rehabilitasi yang juga belum diatur dalam UU No. 15 tahun 2003.

Selain beberapa usulan perubahan tersebut, BNPT juga mengusulkan perubahan lain, yaitu terkait perubahan masa penahanan dari 7 hari menjadi 1 bulan, dan perubahan masa penahanan penyidik dari 4 bulan menjadi 6 bulan. Terorisme sekarang ini merupakan jaringan global,  kalau hanya dengan 7 hari waktu proses untuk melaksanakan sosialisasi dalam rangka untuk bisa berkomunikasi efektif dengan para teroris  butuh waktu untuk mengungkap kasusnya secara lengkap.  Tujuan perubahan waktu penahanan ini, karena pengalaman selama ini penyidik tidak memiliki cukup waktu yang efektif untuk berkomunikasi dengan para tersangka terorisme dan mengungkapkan latar belakang kasus terorisme yang dilakukan tersangka, mengingat kasus terorisme adalah kasus dengan jaringan global.

Menjadi pertanyaan penting saat ini adalah, kapan DPR  bersama pemerintah memiliki waktu untuk membahas revisi UU Terosime, mengingat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015  yang sudah ditetapkan  terdapat 37 RUU yang menjadi Prolegnas prioritas tahun 2015. Sedangkan revisi UU Teroris tidak tercakup dalam Prolegnas yang akan dibahas. Menkumham pernah melontarkan ide Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) mengingat kalau mau direvisi harus menunggu tahun  depan baru bisa dibahas. Sementara disisi lain, payung hukum yang kuat untuk menghentikan ancaman teroris dirasakan sangat mendesak.

Disarankan pemerintah segera mengeluarkan Perppu supaya ada payung hukum bagi aparat untuk menindak pelaku teror serta menghentikan penyebaran paham kebencian termasuk menggunakan media sosial. Perppu  levelnya sama dengan undang-undang, hanya penggarapannya lebih simpel. Rencana revisi UU Teroris dengan mengeluarkan Perppu juga mendapat dukungan dari Komisi I DPR, hal itu dianggap  sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menjadikannya sebagai tonggak gerakan nasional anti radikalisme.

Diharapkan dengan adanya payung hukum yang kuat, Kemenkominfo dapat segera melakukan pemblokiran terhadap situs-situs radikal sehingga pengaruh ISIS  di Indonesia paling tidak dapat diminimaliser. ISIS kini bukan ancaman nasional saja, tapi sudah mengancam dunia, gerakan ISIS telah menyebar dan melibatkan banyak warga negara di seluruh dunia. *

*) Penulis adalah pemerhati masalah politik dan keamanan, tinggal di Jakarta.