Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Minta Tak Ada Lagi Penundaan Eksekusi Mati Gembong Narkoba
Oleh : Surya
Senin | 20-04-2015 | 18:45 WIB
2015-04-20 18.49.06.jpg Honda-Batam
Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR dari FPKS.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, mengaku prihatin atas kian maraknya peredaran narkoba di Indonesia. Meski beberapa gembong narkoba telah dieksekusi mati dan yang lainnya menyusul, namun belum mampu menyurutkan peredaran barang haram itu.


Bahkan, menurut Nasir Djamil, peredaran dan transaksi narkoba itu sudah masuk ke tempat yang seharusnya bersih dari narkoba, misalnya di lembaga pemasyarakatan (LP).

”Seolah-olah negara tengah ditelanjangi oleh para gembong narkoba. Bayangkan, di LP ternyata ada pabrik narkoba,” kata Nasir Djamil dalam Diskusi Empat Pilar yang diselenggarakan MPR di Jakarta, Senin (20/4/2015).,

Menurut politisi PKS itu, melihat maraknya peredaran narkoba hingga ke desa-desa dan yang menjadi sasaranya adalah para generasi muda sungguh mengerikan.

Warga negara, katanya, satu erstu bergelimpangan. Biasanya bandar memberi kemudahan kepada calon korban untuk mendpatkan barang. Begitu sudah terjerat dia dijadikan sebagai pengedar. Yang lebih memprihatinkan lagi aparat juga terlibat menjadi pengedar.

”Satu persatu warga negara kita jadi korban, sementara negara tidak berdaya menghadapi ini meski UU sudah sangat tegas terhadap barang haram ini ,”katanya.

Alasannya selalu bilang negara kita adalah negara kepulauan sehingga banyak pintu masuk. Jadi wajar kalau mafia nakoba, menyebutkan indonesua negara yang subur buat peredaran narkoba.

”Yang membuat kita tak habis pikir kenapa negara begitu lemah menghadapi para gembog narkoba ini. Misalnya berapa banyak para pengedar yang kabur dari penjara. Bahkan dari penjara BNN sekalipun,”jelas Nasir.

Itu menujkan bahwa pengedar narkoba punya jaringan luas. Sehingga begitu mudahnya mereka lolos bahkan dari penjara sekalipun. Tidak nasuk akal kalau 10 tahanan bisa lolos di BNN.

Soal penundaan ekseskusi mati terhadap beberapa gembong narkoba, Nasir Djamil menilai hal itu karena tidak ada ketegasan dari Presiden Jokowi. Padahal dia seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan narkoba,

”Presiden tidak boleh menunda-nunda lagi ekseskuis mati. Tinggal perintahkan saja Jaksa Agung, pasti dilaksanakan," tegas Nasir Djamil.

Sedangkan Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Mustafa Fakhri menegaskan, para mafia narkoba justru memanfaatkan kelemahan aparatur penegak hukum sendiri. Karena itu harus ada langkah-langkah darurat Presiden Jokowi di mana hukuman mati itu konstitusional.

“Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2007 sudah memutuskan bahwa hukuman mati itu konstitusional, dan DPR RI bisa mengevaluasi langkah Presiden RI dengan mempertanyakan kenapa Jokowi menunda-nunda eksekusi mati itu?” katanya mempertanyakan.

Diakui Mustafa, jika hukuman mati itu bukan untuk memberikan efek jera, bahwa pidana mati itu untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat khususnya korban. Karena itu, kalau Presiden RI berbiwaba, maka Negara ini juga berwibawa.

“Kalau pemerintahan SBY dulu disebut-sebut autopilot, maka di era Presiden Jokowi ini auto pilot-nya rusak. Bahkan kabinetnya mengalami kegagalan sistemik; dari kasus konflik di DPR antara KMP vs KIH, Polri vs KPK, penandangatanan tunjangan mobil pejabat negara, dan lain-lain,” tuturnya.

Dengan demikian dia meminta Presiden sadar bahwa dirinya menjadi pemimpin Negara yang besar; penduduknya besar, kepulauannya luas, dan masalahnya juga besar. Serba darurat, yaitu darurat narkoba, darurat korupsi, darurat terorisme dan lainnnya.

“Jadi, Jokowi harus keluar dari orang-orang di sekelilingnya, keluar dari partai pengusungnya, dan keluar dari koalisinya, agar menjadi pemimpin yang besar,” pungkasnya.

Editor: Surya