Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PRP Kecam Penembakan Warga di Gunung Leuser
Oleh : Redaksi/Tunggul Naibaho
Kamis | 30-06-2011 | 10:17 WIB

Batam, batamtoday - Perhimpunan Rakyat Pekerja mengecam tindakan penemabkan yang dilakukan Tim Gabungan Operasi Pengamanan Hutan Areal TNGL kepada warga korban konflik Aceh yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Senin 27 Juni 2911. Penembakan tersebut dipicu bentrokan antara aparat keamanan dengan warga yang menolak untuk direlokasi dari TNGL.

PRP dalam rilisnya kepada batamtoday Rabu 29 Juni 2011 menyatakan, Tim yang berjumlah sekitar 1.200 personel gabungan Polri dan TNI pada awalnya berencana untuk menggusur secara paksa para pengungsi korban konflik Aceh tersebut dari wilayah TNGL, karena dinilai telah merusak areal TNGL seluas 22.100 hektar.

Akibat penembakan tersebut, hingga saat ini ada sekitar 7 (tujuh) warga yang menjalani perawatan di rumah sakit akibat menderita luka saat bentrokan antara aparat keamanan dan warga. Empat warga diantaranya mengalami luka tembak.

Para korban adalah Ismudin Simbolon (46) menderita luka tembak di paha kanan, Supandi (21) luka tembak di dada kiri atas, Boysanto (40) luka tembak di punggung belakang kiri, dan Maharis (38) luka tembak di bagian tungkak. Sementara tiga warga lainnya, yakni Purmanta (57), Ngatiman (59) dan Riadi (35) menderita luka lebam dan lecet karena pukulan aparat.

Pengungsi korban konflik Aceh sendiri sebenarnya, jelaa Ketua Komite Pusat PRP Anwar Maruf,  telah mendiami wilayah TNGL sejak tahun 2000. Mereka pernah direlokasi ke Jambi, namun ternyata di tempat relokasi tersebut tidak disediakan tempat tinggal, sehingga para pengungsi itu kembali lagi ke TNGL. Ribuan warga korban konflik Aceh tersebut hingga kini mendiami tiga desa di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yakni desa Damar Itam, Desa Sei Minyak, dan Desa Barak Induk.

Penolakan para eks pengungsi Aceh untuk direlokasi karena pihak TNGL hingga saat ini belum bisa membuktikan wilayah yang sekarang mereka tempati masuk dalam areal taman nasional. Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 04/_DT.G/2007/TN.STB dan putusan Pengadilan Tinggi Sumut memutuskan kawasan yang ditempati warga eks korban konflik Aceh tidak berhubungan dengan TNGL
dan merupakan tanah Negara.

Sebelas tahun para eks pengungsi konflik Aceh itu mendiami wilayah tersebut. Karena lamanya mereka mendiami wilayah tersebut, beberapa fasilitas umum dibangun oleh warga dengan hasil swadaya, seperti gedung sekolah agama tingkat dasar dan tingkat SLTP, masjid, mushala, dan yang lainnya. Baru belakangan ini, rezim neoliberal melalui pengelola TNGL ingin menggusur paksa warga eks korban konflik Aceh itu dengan alasan, bahwa warga telah merusak TNGL dengan melakukan perambahan hutan.

Namun, sebenarnya sebelum tahun 2000 atau sebelum pengungsi eks korban konflik Aceh datang ke wilayah tersebut, tutupan lahannya sudah rusak. Hal ini diakibatkan karena illegal logging. Kawasan ini juga pernah dikelola oleh PT Mulya Karya Jaya (MKJ) karena telah diberikan izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan bernomor 277/kpts-II/1991. PT Mulya Karya Jaya mengelola kawasan tersebut seluas 47.000 hektar. Artinya, perusakan hutan sudah dilakukan sejak sebelum para pengungsi eks korban konflik Aceh itu masuk ke kawasan tersebut.

Yang lebih penting adalah rezim neoliberal hingga saat ini memang tidak pernah berusaha memikirkan bagaimana kehidupan rakyatnya. Terkatung-katungnya warga eks korban konflik Aceh selama mereka hidup di kawasan tersebut menunjukkan ketidakpedulian rezim neoliberal. Bahkan beberapa warga yang bermukim di Sei Minyak sampai saat ini tidak memiliki status kependudukan dan pada saat Pemilukada Langkat, mereka ditolak untuk ikut sebagai pemilih.

"Hal ini menunjukkan, bahwa rezim neoliberal memang tidak pernah berusaha serius untuk menangani, atau bahkan melindungi rakyatnya." tegas Anwar Maruf.