Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pelaksanaan Pilkada Serentak Desember 2015

Calon Kepala Daerah yang Lakukan Poliitik Uang Harus Didiskualifikasi
Oleh : Surya
Rabu | 18-02-2015 | 08:00 WIB
diskusii_DPR_Pilkada.jpg Honda-Batam
Diskusi Revisi RUU Pilkada dan Berbagai Problematika Pemilu Serentak 2015’ di Gedung DPR, Selasa (17/2/2015)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mengusulkan perlu ada aturan yang tegas tentang pemberian saksi bagi calon kepala daerah (cakada) maupun partai politik (parpol) pengusungnya yang terbukti melakukan politik uang dalam Pilkada Serentak 2015.

Karena dia menilai UU Pilkada yang disetujui DPR lebih banyak kesinambungannya dari UU Pilkada sebelumnya.
"Yang baru hanya memotong politik dinasti dan kekerabatan. Tapi, kalau aturannya ini tidak jelas, maka daerah bisa menganggap tidak masalah," kata Siti Zuhro dalam diskusi ‘Revisi RUU Pilkada dan Berbagai Problematika Pemilu Serentak 2015’ di Gedung DPR, Selasa (17/2/2015).

Karena itu ia mengusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat aturan yang tegas bagi calon kepala daerah dan parpol pengusungnya yang terbukti melakukan politik uang, seperti memberikan sanksi didiskualifikasi.

"Seharusnya yang terbukti menggunakan politik uang bisa langsung didiskualifikasi atau gugur. Sebab, terjadinya pembusukan partai politik selama ini akibat adanya transaksional politik. Sanksi itu sebagai efek jera, agar parpol tidak main-main dengan politik uang," kata Siti.

Terpenting dalam pelaksanaan pemilu serentak tersebut menurut Siti adalah parpol, penyelenggara pemilu, penegak hukum, dan masyarakat sendiri.

"Kalau hanya memproduksi UU tanpa payung hukum yang jelas, KPU tidak siap, maka apa yang bisa diperbuat untuk pemilu ke depan? Saya tidak yakin KPU siap dan pasti akan ada resiko-resiko akibat pemilu serentak yang dipaksakan ini," kata Siti Zuhro.

Dia mencontohkan Pemilu 2014 lalu terdapat 900-an kasus penyimpangan. Karena itu, sebisa mungkin UU Pilkada itu tidak selalu coba-coba, apalagi sudah melakukan 1080 kali Pilkada.

"Jadi, dalam pemilu serentak yang terpenting adalah Bawaslu dan Panwaslu, agar menghasilkan pemilu yang demokratis, bermartabat, jujur dan berkualitas,"pungkasnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria menegaskan, dalam UU Pilkada yang disahkan oleh DPR RI pada Selasa (17/2) diyakininya akan mampu meminimalisir politik uang atau money politics termasuk transaksional, mahar, dan semacamnya dalam pencalonan seseorang sebagai kepala daerah. Karena itu, jika seseorang terbukti melakukan politik uang, maka yang bersangkutan langsung dipidana dan pencalonanya otomatis gugur.

"Jadi, dengan UU Pilkada yang baru ini sulit calon kepala daerah melakukan transaksi, mahar dan atau money politics. Sebab, kalau terbukti bisa dipidana dan pencalonannya otomatis gugur, serta partai tersebut pada masa berikutnya tidak boleh lagi mengajukan calon," tegas Ahmad Riza

Menurut politisi Gerindra itu, Pilkada langsung maupun oleh DPRD sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi, khusus politik dinasti dan money politics dalam UU Pilkada ini sebagai langkah maju.

Sebab, kepala daerah (incumbent/petahana) tidak boleh maju lagi untuk berikutnya. Dia baru boleh mencalonkan lagi setelah lima tahun kemudian.

"Memang di satu sisi tidak demokratis, namun dampak politik dinasti itu jauh lebih buruk karena mereka ini cenderung untuk mempertahankan kekuasaan dan menjadi raja di daerah," jelasnya.

Pilkada serentak nasional kemungkinan akan mulai digelar pada 2027. "Ini jelas merugikan industri media, percetakan, lembaga survei, dan pengamat, karena tidak banyak membutuhkan lagi. Padahal, dalam sebuah proses demokrasi tetap dibutuhkan pencerahan, pencerdasan, dan kritik media dan pengamat. Itulah kekuarangan Pilkada serentak," kata Ahmad Riza.

Pemerintah sendiri kata Kapuspen Kemendagri Dodi Riatmadji, tidak terlalu kaget dengan UU Pilkada ini, karena tidak banyak berubah dibanding sebelumnya, yaitu UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

"Pilkada serentak mulai Desember 2015, dan serentak DPR dan Presiden 2019. Sedangkan seluruhnya serentak pada tahun 2027. Untuk itu, harus kita kawal bersama agar menghasilkan pemimpin yang benar-benar mensejahterakan rakyat," katanya.

Editor: Surya