Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR akan Segera Lakukan Konsultasi dengan MA

Komisi II DPR Usulkan Pembentukan Badan Khusus Penyelenggara Pilkada, bukan KPU atau KPUD
Oleh : Surya
Kamis | 05-02-2015 | 16:15 WIB
Setya_Novanto.jpg Honda-Batam
Ketua DPR Setya Novanto

BATAMTODAY.COM, Jakarta -  DPR RI Setya Novanto mengatakan DPR melalui Komisi II akan meminta masukan instansi terkait terkait poin sengketa pilkada yang menjadi salah satu poin revisi dalam Undang-Undang Pilkada.

"Pimpinan Komisi II DPR RI akan konsultasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa pilkada berkaitan kaedah teknis, keputusan-keputusan, dan masalah transisi antara MK dan MA," kata Setya di Jakarta, Kamis (5/2/2015).

Dia mengatakan konsultasi itu penting dilakukan, karena MA dinilai paham mengenai sengketa pilkada.
Menurut dia dalam menciptakan harmonisasi sebaiknya konsultasi itu dilakukan sedini mungkin, sehingga tidak merugikan.

"Perlu pimpinan DPR RI melalui Komisi II segera konsultasi dengan MA agar didapatkan kesesuaian," katanya.

Setya juga mengucapkan terima kasih atas perhatian Presiden Joko Widodo yang cepat menandatangani UU Pilkada untuk dikirim ke DPR.

"Saya sampaikan terima kasih atas perhatian Presiden Jokowi yang begitu cepat tandatangan Perppu untuk dikirim ke DPR. Ini sudah kita terima dan teruskan ke Komisi II," katanya.

Ia mengatakan UU tersebut sudah diterima Pimpinan DPR RI dan telah diteruskan ke Komisi II DPR RI untuk dilakukan revisi.

"Di Komisi II DPR akan merevisi UU tersebut sebagai penyesuaian dan kami mempercayakannya," katanya.

Sedangkan terkait penyelesaian sengketa Pilkada, kata Setya, pihaknya mempercayakan hal itu pada Komisi II DPR RI yang membidangi otonomi daerah dan pemerintahan daerah tersebut.

"Kita akan minta masukan dari banyak pihak, pimpinan Komisi II akan konsul ke MA terkait hal-hal yang berkaitan kaedah teknis. Makanya perlu pimpinan DPR lewat Komisi II agar segera konsultasi baik dengan MA agar sesuai," tandasnya.

Menurutnya, ada banyak hal yang harus dibahas dan dijalani bersama MA karena lembaga tersebut yang lebih banyak mengetahui terkait hal itu, seperti dalam pasal 157 ayat (1) yang berbunyi, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung”.

"Segera konsultasi agar segera ketemu, datang di MA, jadi sesuai, sehingga tidak merugikan," jelasnya. 

Badan khusus penyenggara pilkada
Sementara itu, Komisi II DPR RI menggulirkan wacana dibentuk badan atau lembaga khusus penyelenggara Pilkada yang akan diatur dalam revisi Undang-Undang (UU) No.1/2015 tentang Pilkada, bukan ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Alasannya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemilihan kepala daerah (pilkada )  dalam rezim pemilu. Akibatnya, KPU bukan lagi menjadi penyelenggara pilkada. Sebab, KPU adalah penyelenggara pemilu di rezim pemilu, yaitu pemilihan presiden dan legislatif.

"Kalau bukan rezim pemilu menurut MK, maka bukan KPU pelaksananya. Sementara di Perppu menunjuk KPU. Maka kita (komisi II DPR) perlu membentuk badan pelaksana lain, apakah itu bagian dari pemerintah daerah (Pemda) atau bagaimana masih diperdebatkan di Komisi II DPR bersama pemerintah," kata Yandri Susanto, Anggota Komisi II dari F-PAN. 

Menurutnya, masalah ini sulit diputuskan oleh Komisi II DPR dengan pemerintah siapa yang menjadi penyelenggara Pilkada. Disatu sisi, sebutnya, KPU masih memungkinkan menjadi penyelenggara Pilkada dengan menunjuk KPUD.

"KPUD sebagai penyelenggara Pilkada juga belum diputuskan, itu akan dibahas dalam Panitia Kerja (Panja) nanti setelah ada kesepakatan pembahasan sama pemerintah untuk Komisi II bentuk Panja," jelasnya.

Dia menuturkan, putusan MK tersebut membuat adanya ketidakpastikan dalam UU Pilkada ini tentang siapa penyelenggara Pilkada sebenarnya yang berimplikasi terhadap lembaga yang menangani masalah sengketa Pilkada.

"Bentuk badan/lembaga pelaksana Pilkada itu memungkinkan untuk di bentuk. Kalau belum pasti seperti ini, nanti misalnya akan bermuara siapa yang menyelesaikan sengketa Pilkada," ujarnya.

Apabila KPU/KPUD sebagai penyelenggara Pilkada, lanjutnya, seharusnya penyelesaian sengketa Pilkada di MK bukan di MA. Namun, katanya, menurut MK Pilkada bukan rezim pemilu maka tidak punya wewenang tangani sengketa Pilkada.

 "Jadi tidak sinkron antara KPU dengan MA. Seharusnya MA tangani sengketa Pilkada, tapi yang jadi masalah kalau KPU bukan rezim pemilu," katanya.

Yandri mengatakan,  siapa penyelenggara Pilkada dan siapa yang menangani sengketa Pilkada menjadi pekerjaan rumah (PR) utama Komisi II DPR terhadap revisi UU Pilkada yang harus diselesaikan pada masa sidang kedua DPR yang berakhir pada 18 februari mendatang.

"Pilkada bukan rezim pemilu itu atas perintah konstitusi. Tidak boleh dong UU langkahi konstitusi," tegasnya. 

Anggota Komisi II DPR dari F-PKB  Abdul Malik Haramain mengatakan, pembentukan badan pelaksana khusus Pilkada sudah diusulkan ke Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menhukham Yasonna Y Laoly. Namun, katanya, usulan tersebut masih dipertimbangkan dengan adanya beban anggaran yang besar untuk membentuk badan khusus tersebut di setiap daerah.

Sehingga ketika hal itu disimpulkan bahwa penyelenggara Pilkada dilaksanakan oleh KPUD, maka akan dikonsultasikan dengan MA. "Namun setelah berkonsultasi dengan MK bahwa Pilkada bukan rezim pemilu,  maka kita (Komisi II) akan membahasnya kembali bersama pemerintah siapa penyelenggara Pilkada," kata Malik.

Editor : Surya