Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Dinilai Belum Mampu Wujudkan Kedaulatan Politik
Oleh : Irawan Surya
Senin | 08-12-2014 | 20:04 WIB
yudi_latif.jpg Honda-Batam
Yudi Latif. (Foto: net)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat politik, Yudi Latif, menegaskan jika Indonesia belum mampu mewujudkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan budaya yang bermartabat, karena pemimpin negara ini tidak mempunyai keberanian, akibat mental budak selama ini. Karena itu, menurutnya, harus dimulai oleh Presiden baru, yaitu Jokowi melalui apa yang didengungkan selama ini sebagai "revolusi mental".

"Hanya saja revolusi mental itu seolah kandas di tangan Jokowi sendiri ketika dalam pembentukan kabinet di mana banyak kekuatan di luar Jokowi dan orang-orang yang tidak berdarah-darah dan juga pemodal ternyata mampu menentukan susunan kabinet," papar Yudi dalam dialog "Trisakti" bersama Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarulzaman, dan pengamat ekonomi UI, Sony B Heri Rahmadi, di gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (8/12/2014).
 
Dalam perkembangannya saat ini, lanjut Yudi Latif, kalau mau membandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), SBY adalah presiden yang sulit mengambil keputusan dan sebaliknya Jokowi adalah presiden yang cepat mengambil keputusan.

"Jokowi sebagai eksekutor yang baik, tapi apakah hal itu sudah melalui pengetahuan yang benar? Seperti kenaikan harga BBM, penenggelaman kapal ikan, larangan menteri hadir ke DPR dan lain-lain?" tanya Yudi Latif.
 
Kenaikan harga BBM misalnya dilakukan ketika harga BBM dunia mengalami penurunan signifikan, yaitu dari 105 dollar AS per barel menjadi 80-an dollar AS per barel. "Ada apa sebenarnya di balik semua ini? Adakah ritel-ritel asing yang mengambil keuntungan dengan mencabut subsidi itu? Sebab, menaikkan harga BBM yang sedang turun, berarti kini rakyat yang mensubsidi negara. Penenggelaman kapal jangan sampai hanya hangat-hangat tahi ayam, juga kapal ikan beneran bukan perahu milik masyarakat pedalamaan atau stateless," katanya.
 
Sejauh itu Jokowi sebagai mantan Wali Kota Solo, terus menjadi gubernur satu setengah tahun, menurut Yudi Latif, jam terbang politiknya tentu belum cukup di Jakarta.

"Jangan-jangan sekarang pun Jokowi tidak tahu kalau ada orang di sekitarnya sebagai pencoleng uang negara. Bahwa demokrasi itu harus diperjuangkan secara kolektif, bukan individualistik, dan instrumennya adalah parpol. Bukan kerumuman kelompok fasis, dan bukan pula berdasarkan suara yang berserakan di jalanan," tambahnya.
 
Karena itu kata Yudi Latif, membangun demokrasi itu tidak bisa didekte oleh kekuatan modal apalagi asing, di mana mereka ini juga tidak bisa mengambil-alih kekuatan politik. Untuk itu pula Presiden dan pendukungnya tak boleh takut dengan interpelasi atau impeachment DPR RI, mengingat prosesnya sangat sulit.

"Yaitu harus disetujui oleh 2/3 anggota MPR RI, lalu disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, dan dikembalikan ke MPR RI minimal harus diputus berdasarkan kehadiran MPR RI 50 % plus satu," ujarnya.
 
Artinya, kata Yudi Latif, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) jangan terlalu ketakutan dengan manuver Koalisi Merah Putih (KMP), apalagi sampai merubah tatanan demokrasi itu sendiri. Seperti harus merevisi UU MD3 (MPR,DPR,DPD dan DPRD) hanya untuk mengakomodir 16 kursi di komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD) untuk KIH, dan sebagainya.

"Kalau tarik-menarik ini terus berlangsung, maka berbahaya bagi demokrasi itu sendiri dan rakyat bisa melakukan parlemen jalanan. Sebab itu, saya setuju kalau MPR RI akan menjadi lembaga tertinggi negara," unkapnya.
 
Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarulzaman, menegaskan jika pemegang kedaulatan itu adalah rakyat, sehingga lahirlah UU Desa, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1/2014 juga terkait rakyat.

Karena itu, hanya ada dua pilihan untuk Perpu; yaitu diterima atau ditolak. Tapi, kalau ditolak berarti merampas kedaulatan rakyat, sebaliknya kalau mencabut, maka Presiden Jokowi harus mengeluarkan Perpu Pencabutan UU No 22/2014.
 
Dikatakan, jika UU Pilkada dan UU Pemda itu semula berasal dari pemerintah yang mendukung gubernur dipilih oleh DPRD dan bupati walikota dipilih lansgung oleh rakyat. Tapi, kalau begitu bupati dan wali kota tidak akan mau mengikuti gubernur, karena bupati dan walikota merasa dipilih langsung oleh rakyat, maka lahirlah pemilu serentak.

"Jadi, implementasi kedaulatan rakyat itu juga tergantung pemerintah," tambah Rambe.
 
Namun demikian lanjut Yudi Latif, jangan sampai terjadi kekosongan hukum pilkada tersebut, sebab yang akan diuntungkan secara politik adalah Presiden Jokowi. Pada tahun 2015 itu ada sekitar 246 gubernur, bupati dan wali kota yang habis masa jabatannya, sehingga jika terjadi kekosongan hukum, Presiden tinggal menunjuk Plt atau pejabat pelaksana tugas pejabat itu di seluruh Indonesia tersebut.
 
Sementara Sonny mengatakan, Indonesia merupakan negara besar, maka harus memiliki pemikiran besar misalnya tak saja swasembada pangan, tapi juga bagaimana secara internasional yang akan memasuki MEA (masyarakat ekonomi ASEAN) tahun 2015 mendatang, posisi Indonesia dipertimbangkan oleh negara-negara di dunia.

"Sebab, dari 65 juta unit usaha, hanya 2 persen yang termasuk sebagai skala menengah dan besar Indonesia, dan mayoritas dikuasai asing," terangnya. (*)

Editor: Roelan