Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kebun Binatang, Tempat Keliru Untuk Rekreasi dan Edukasi
Oleh : Tunggul Naibaho
Selasa | 31-05-2011 | 15:52 WIB
ou.jpg Honda-Batam

Orangutan di salah satu kebun binatang tampak sedang menghibur pengunjung, namaun dari raut wajahnya dapat terlihat kalau dia sedang menderita dan stress. (Foto: Ist).

Batam, batamtoday - Kebun binatang merupakan salah satu tujuan wisata favorit bagi siswa sekolah di Indonesia. Selain rekreasi, salah satu alasan lainnya adalah tempat belajar mengenai satwa liar. Namun, menurut Daniek Hendarto, Orangutan Campaigner dari Centre for Orangutan Protection (COP), pandangan tersebut sangat keliru.

Hal itu disampaikan Daniek Hendarto kepada batamtoday, Selasa, 31 Mei 2011. Daniek menambahkan, secara umum tidak ada yang bisa dipelajari di kebun binatang.

"Apa yang bisa dipelajari dari satwa yang terkurung dengan segenap penderitaannya di dalam kandangnya," ujar Daniek. "Apa yang bisa dipelajari dari pertunjukan orangutan? Itu semua sama sekali tidak lucu dan tidak mendidik. Orangutan bukanlah  mainan," tegasnya lagi.


COP, kata Daniek, telah melakukan riset yang mendalam dan memantau kondisi para orangutan di kebun binatang - kebun binatangn yang ada di Indonesia. Secara umum, jelas Daniek, kondisinya tidak baik, Orangutan terlihat sangat menderita, katanya. Sementara, lanjutnya, para pengunjung hanya menghabiskan waktu rata-rata 80 detik di depan kandang orangutan, dan hal Ini merupakan bukti bahwa kondisinya memang tidak menarik untuk rekreasi, nilai Daniek.

“COP memuji kemajuan Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta, yang telah menghentikan pertunjukan orangutan. Sebaliknya, COP mengecam Taman Safari yang masih menggunakan orangutan untuk pertunjukan sirkus." kata Daniek.

Secara teknis, menurut Daniek, sebenarnya Taman Safari, memiliki standar kelola dan pemeliharan yang sangat baik, namun sayangnya masih menggunakan orangutan untuk sirkus maupun foto bersama dengan pengunjung.

Kebun Binatang Ragunan, menurut Daniek, kondisinya jauh lebih buruk. Orangutan wajib menjalani latihan yang keras agar dapat tampil di atas panggung atau agar dapat dikendalikan untuk berfoto bersama dengan pengunjung sehingga tidak membahayakan. Ini tidak etis, tegas Daniek.

“Kejahatan kita adalah membayar sejumlah uang kepada kebun binatang untuk terus melakukan kekejaman. Kejahatan terhadap satwa liar akan terus terjadi karena para siswa sekolah terus belajar dari sumber yang keliru. Perubahan hanya akan bisa terjadi bila semua pihak termasuk 
sekolah dan orangtua tidak lagi mengorganisir kunjungan ke kebun binatang," jelasnya.

Masih banyak cara yang lebih baik untuk mendidik siswa agar mencintai satwa liar dan alam. Misalnya berkemah atau kunjungan ke  alam bebas untuk mengamati satwa liar langsung di habitatnya. Tidaklah sulit untuk dapat melihat satwa liar di Indonesia. Misalnya burung, mereka ada di mana-mana, di gedung sekolah dan rumah, pepohonan sepanjangan jalan maupun persawahan, sebut Daniek.