Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Walhi: Inpres Moratorium Manipulatif, Pro Perusakan dan Tidak Memadai
Oleh : Tunggul Naibaho
Minggu | 22-05-2011 | 09:45 WIB
hutan.jpg Honda-Batam

Hutan yang habis dirusak dengan cara dibakar untuk kepentingan ekonomi segelintir pihak. (Foto: Ist).

Batam, batamtoday - Inpres No 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, penuh manipulasi, pro perusakan hutan, dan juga dinilai tidak memadai untuk menghentikan pengrusakan hutan di Indonesia. Penerbitan Inpres ini juga berimplikasi pada perjanjian Oslo, karena perbitan Inpres ini terkait dengan Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia, pada 26 Mei 2010 di Oslo dengan kompensasi hibah sebesar US$1 miliar.

Demikian dikatakan Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Muhammad Teguh Surya, kepada batamtoday, Minggu, 21 Mei 2011, menyikapi penerbiatan Inpres Moratorium yang dinyatakan berlaku pada Jumat 20 Mei 2011 di Istana Negara, Jakarta, oleh Menteri Sekretaris Kabinet, Dipo Alam.

Dinilai manipulatif karena, Inpres tersebut tetap memberikan perlindungan terselubung kepada para pengusaha yang bergerak di usaha konversi lahan, dengan adanya pengecualian penundaan pada diktum kedua Inpres tersebut. Pengecualian penundaan diberikan yaitu, untuk permohonan yang sudah mendapatkan izin prinsip dari Menhut, perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan atau penggunaan kawasan hutan yang sudah memiliki izin, pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital dan restorasi ekosistem.

Dengan adanya pengecualian ini, maka jelas pemerintah dan Presiden SBY telah melakukan kebohongan publik, karena nyatanya Inpres tersebut melindungi kepentingan Pengusaha yang bergerak disektor konversi lahan.

"Ini jelas merupakan kebohongan publik," tegas Surya.

Surya juga menyoroti  Inpres dalam hal peraturan dan perundang-undangan, menurut dia Inpres merupakan perintah atasan (Presiden) kepada bawahan (menteri, kepala lembaga pemerintah nondepartemen, atau pejabat-pejabat pemerintah yang berkedudukan di bawah) yang bersifat individual, konkret, dan sekali-selesai (final) sehingga tidak dapat digolongkan dalam peraturan perundang-undangan (wetgeving) atau peraturan kebijakan (beleidsregel, pseudo-wetgeving).

"Karena permasalahan moratorium hutan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan melibatkan banyak aktor, maka seharusnya diatur dalam kebijakan yang bersifat mengatur dan berlaku umum seperti UU atau Perpres, bukan Inpres," jelas Surya.

Demikian juga dengan penggunaan istilah “Hutan Alam Primer” tidak dikenal di dalam hukum kedua negara, baik Indonesia (UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturanlainya) maupun hukum Norwegia. Istilah tersebut merupakan istilah tehnis yang hanya digunakan untuk mempermudah melihat tingkat degradasi hutan bukan untuk sebuah kebijakan maupun dalam konteks pemberian ijin usaha.

"Sehingga dapat dikatakan bahwa Inpres No. 10 tahun 2011 adalah cacat hukum karena tidak jelas referensi hukum yang digunakan. Dan kebijakan ini perlu segera direvisi agar tidak menimbulkan masalah lebih lanjut di masa mendatang," tegas dia.
 
Para pihak yang di Instruksikan oleh Presiden juga kurang lengkap karena dua Kementerian yang berhubungan erat dengan praktek deforestasi tidak disebutkan yaitu Menteri Pertanian dan Menteri ESDM. Hal tersebut mengakibatkan tidak maksimalnya pelaksanaan kebijakan tersebut dalam konteks penyelamatan hutan alam yang tersisa.

Menurut Surya, hal tersebut sengaja dilakukan agar pengusaha perkebunan sawit dan pertambangan (yang notabene dimiliki oleh Pejabat, Pengusaha dan kroni-kroninya Presiden) tetap dapat mengkonversi hutan alam dengan alasan kepentingan ekonomi mereka.

Hal yang membuat Surya tidak habis pikir adalah, Inpres tersebut (pada diktum pertama) menyatakan bahwa moratorium dilakukan pada hutan konservasi dan hutan lindung, yang memang jelas dilindungi berdasarkan UU kehutanan dan peraturan lainya, terbit atau pun tidak Inpres Moratorium tersebut.

"Jadi buat apa Inpres tersebut diterbitkan," tanya Surya dengan nada tinggi. Menurut dia, kalau pejabat menyembunyikan sesuatu, maka pasti terjebak pada perbuatan bodoh, seperti penerbitan SK tersebut, tambah Surya.

Padahal, jelas Surya, inisiatif moratorium sejak awalnya menargetkan penyelamatan kawasan hutan yang tersisa di luar kawasan yang memang sudah dilindungi. Hal ini sangat jelas tertuang dalam Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang salah satu poinnya menyebutkan “A two year suspension on all new concessions for conversion of peat and natural forest” (Penundaan dua tahun pemberian hak konsesi untuk konversi lahan gambut dan hutan alam).

Dengan klausal pengecualian tersebut, maka semakin memperkecil luasan hutan yang akan diselamtkan Inpres tersebut. Dan tentu Inpres tersebut bertentangan dengan semangat dan mandat UU Kehutanan yang memiliki misi penyelamatan hutan Indonesia sebagaimana yang tertuang pada konsiderannya “………… serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang” serta dalam pasal-pasal lain dibawahnya.

Inpres yang dikeluarkan ini disamping cacat hukum juga kurang lengkap karena lampiran tentang Peta Indikatif Penundaan Izin Baru yang disajikan tidak bisa dijadikan acuan karena skalanya besar sekali yakni 1:19 juta dan tidak ada baseline datanya. Sehingga sangat berpotensi memunculkan kekisruhan di tingkat lapangan dan antar institusi terkait karena akan terjadi klaim sepihak atas status kawasan.

"Kebijakan tersebut (Moratorium pemberian Izon Baru) tidak mungkin bisa dijalankan karena pemerintah tidak serius dalam semua hal," tegas Surya.