Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Putusan MK Soal Pilkada Tetap Tak Bisa Digugat dan Bersifat Final
Oleh : Surya
Kamis | 21-11-2013 | 17:53 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Mantan Hakim Konstitusi (MK) HAS Natabaya menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa digugat lagi, apalagi dibatalkan oleh fatwa karena fatwa tidak berlaku para perkara yang sudah diputuskan.


Hal itu disampaikan Natabaya menanggapi putusan sengketa Pilkada Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengadilan Negeri (PN) Sumba Barat Daya. MK memenangkan calon bupati Cornelius, sedangkan PN Sumba Barat Daya memenangkan Markus. 

"Fatwa itu dikeluarkan harus ada batasan-batasan yang jelas secara hukum. Kalau tanpa batasan hukum yang jelas, maka dengan fatwa itu akan menambah tidak adanya kepastian hukum," tegas Natabaya di Jakarta, Kamis (21/11/2013).

Namun, Natabaya dalam diskusi 'Menggugat Konstitusionalitas Putusan MK Yang Bersifat Final dan Mengikat Dalam Sengketa Pilkada' bersama anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Suding, dan praktisi hukum Petrus Selestinus  itu, sangat  adanya ketidakkonsistenan MK dalam memutus perkara.

Misalnya, dalam kasus Pilkada Papua, tentu tidak bisa disamakan dengan proses Pilkada di Bali. "Kalau di Papua bisa diwakili oleh orang lain akibat kondisi daerah yang tidak aman, dan masyarakatnya tidak paham pemilu, tapi tidak demikian halnya dengan masyarakat Bali. Itu namanya tidak konsisten," katanya.

Soal mengapa final dan mengikat menurut Natabaya, hal itu juga berlaku di negara-negara di dunia, karena ada anggapan yang namanya Mahkamah Konstitusi itu sebagai putusan yang dipastikan benar mengingat para hakim Mahkamah itu sebagai wakil Tuhan.

"Untuk itu, putusan MK itu harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dengan ilmu hukum, meski ada yang tidak setuju tetapi sudah sesuai dengan kebenaran secara umum," tambahnya.

Masalahnya mengapa banyak pertanyaan soal putusan MK tersebut kata Natabaya, karena suasana tertangkap tangannya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam kasus suap Pilkada Lebak Banten, dan Gunung Emas Kalimantan Tengah.

"Semuanya diputuskan Akil, sehingga kasus Pilkada yang ditangani Akil semua diragukan," tutur Natabaya.

Natabaya mengakui banyaknya putusan MK yang aneh, dan lucu-lucu. Namun, Perppu MK juga mengacaukan konstitusi yang memerintahkan hakim MK itu diusulkan oleh tiga lembaga negara; yaitu Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR RI, masing-masing 3 orang calon hakim MK.

"Lalu dengan Perppu MK itu, bagaimana nasib 8 hakim MK yang sekarang ini?” Apakah Perppu itu bisa dijuicial review, ditinjau kembali? Jadi, DPR harus cepat selesaikan Perppu ini," katanya berharap.

Sedangkan Anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Suding menegaskan bahwa pertimbangan hakim MK  dalam memutuskan suatu perkara khususnya dalam sengketa Pilkada dengan kajian tidak mendalam terhadap fakta-fakta hukum di persidangan MK sendiri. Hakim MK sering memutus berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi seadanya.

"Maka wajar kalau pasca tertangkapnya Akil Mochtar itu, banyak kekecawaan terhadap MK sampai terjadi amuk massa dalam persidangan beberapa waktu lalu itu. Mereka ternyata bermain dengan uang, dan kenegarawanannya telah hancur," tegasnya. 

Dengan begitu lanjut Suding, maka MK saat ini sama seperti pengadilan umum, yaitu sudah hilang kewibawaannya, dan isu transaksional selama ini ternyata benar adanya. Untuk itu, seharusnya Akil Mochtar itu dihukum mati dan tak ada terobosan hukum yang dilakukan MK.

"Harusnya hakim-hakim MK itu, mempertaruhkan marwah kenegarawanannya dan seteril dari kepentingan politik manapun," kata Suding.

Karena itu dia berharap ada fatwa dalam kasus Pilkada Sumba Barat Daya tersebut, karena ada dua putusan MK dan putusan PN Sumba Barat Daya.

Tapi, kata Natabaya, fatwa tak bisa diberikan untuk kasus tersebut, karena sudah diputus MK.

"Kalau dikeluarkan fatwa terhadap perkaya yang sudah diputus, maka akibatnya tidak ada kepastian hukum dan itu berlaku di negara-negara di dunia," ujar mantan hakim konstitusi itu meyakinkan.

Tapi, Suding masih yakin diperlukan fatwa hukum MK atas temuan baru dari PN Sumba Barat Daya, yang memenangkan Markus. Markus menang karena suara di 144 kotak suara yang tidak dihitung itu suara Cornelius.

"Persoalannya, apakah suara dalam 144 kotak suara itu masih murni atau malah sudah banyak pihak-pihak yang terlibat? Itu juga menjadi masalah," kata Natabaya lagi.

Namun demikian Suding mendesak Kemendagri tidak mengeksekusi putusan MK tersebut, karena ada dua putusan yang berbeda. Karena itu pula katanya, Kemendagri juga tidak usah melantik atau menunda pelantikan Cornelius sampai ada keputusan hukum tetap.

"Sebaiknya Kemendagri menunda pelantikan Cornelius,"ujarnya.
 
Editor: Surya