Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hanya 7 Persen Sisa Harimau Sumatera
Oleh : Redaksi/Andri
Senin | 18-04-2011 | 09:43 WIB

Batam, batamtoday – Sisa subspesies harimau sumatera dipastikan hanya 7 persen. Itu artinya terdapat sekitar 400 hingga 500 ekor harimau yang masih hidup di dunia.

Demikian dikatakan Satyawan Pudyatmoko, seorang pemerhati fauna Universitas Gajah Mada (UGM) dalam keterangan persnya, Senin 18 April 2011. Dalam keterangan itu menjelaskan bahwa Harimau Jawa dan Bali sudah lama punah dan populasi subspesies tersebut semakin menurun seiring dengan maraknya perdagangan ilegal satwa liar di dunia dan penggundulan hutan secara membabi buta.

Dikatakannya, populasi harimau di Indonesia menurun drastis dalam 40 tahun terakhir. Padahal jumlahnya pernah mencapai 1200-an ekor di tahun 1970-an. Solusinya harus ada penambahan lahan kawasan konservasi sebagai areal habitat populasi lestari.

“Untuk bisa lestari dalam jangka 100 tahun minimum kawasan konservasi menampung 250 ekor harimau dengan luas minimum habitat 1 ekor per 100 kilometer persegi,” katanya.

Luas habitat kawasan konservasi kini hanya 58.321 kilometer persegi. Padahal luas habitat potensial mencapai 144 ribu kilometer persegi. “Sayangnya, hanya 29 katanya dari habitat harimau yang masuk dalam kawasan konservasi,” katanya.

Koordinator Wildlife Species WWF Indonesia Chairul Shaleh mengatakan kepunahan Harimau Sumatera disebabkan adanya bisnis perdagangan satwa liar yang tengah marak di seluruh dunia. Bahkan, bisnis satwa harimau ini merupakan bisnis hewan liar kedua setelah kera. “Tiap tahun diperkirakan 100 ekor harimau di seluruh dunia dibunuh. Dagingnya dijual untuk dikonsumsi, sedangkan kulitnya untuk dikoleksi,” katanya.

Untuk melestarikan harimau sumatera ini juga bisa dilakukan dengan kebijakan tiger farming seperti yang dilakukan di China. Meski hasil dari penangkaran dan pengembangbiakan harimau ini di jual di pasaran namun tetap dalam bertujuan melindungi populasinya dari kepunhan . Tidak hanya China, kata Shaleh, Negara Zimbabwe dan Mozambik juga berhasil melakukan hal yang sama dalam pengembangbiakan populasi gajah untuk mengantisipasi terjadinya kepunahan dari ancaman perdagdangan illegal satwa liar. “Perdagangan illegal ini semakin mengancam keberadaaan harimau sumatera,” tuturnya.

Wisnu Nurcahyo dari bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM berpendapat ancaman kepunahan hewan langka tidak semata gara-gara perdagangan satwa liar tapi juga disebabkan penyakit yang timbul akibat dampak global warming. “Pengalaman kita dalam menangani orang hutan di Kalimantan, banyak yang terkena penyakit malaria akibat tertular dari manusia. Bisa jadi kemungkinan harimau banyak yang mati terkena toxoplasma,” katanya.