Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ilmuwan Peringatkan Bahaya Anemia Sel Sabit
Oleh : Redaksi
Selasa | 30-07-2013 | 11:31 WIB

NEW YORK - Sejumlah intervensi kesehatan mendasar secara signifikan dapat mengurangi kematian di antara anak-anak penderita anemia sel sabit (sickle cell anemia), penyakit yang menyebabkan tubuh menghasilkan sel darah merah berbentuk sabit atau keping sehingga kesulitan mengangkut oksigen dari paru-paru.

Jumlah bayi yang baru lahir dengan penyakit darah bawaan ini meningkat, terutama di sub-Sahara Afrika.

Sebuah studi baru di jurnal PLoS Medicine mengatakan pada 2050, lebih dari 400 ribu bayi lahir setiap tahunnya menderita kekurangan darah atau anemia sel sabit ini. Itu merupakan peningkatan sekitar 100 ribu penderita per tahun.

Kebanyakan dari kelahiran itu akan terjadi di Nigeria, Republik Demokratik Kongo dan India. Ketiga negara itu mempunyai 75 persen bayi yang baru lahir menderita anemia sel sabit pada 2010.

Menurut Frederic Piel, yang memimpin penelitian di University of Oxford, Imperial College dan KEMRI/Wellcome Trust Research Program di Kenya, mengatakan penyakit ini adalah kelainan genetik dan jika orang mewarisi satu salinan gen dari salah satu orangtua, mereka tidak memiliki gejala apapun dan yang meneruskan penyakitnya disebut individu heterozigot.

“Jika orang mewarisi dua salinan gen dari orang tua mereka, maka orang menderita anemia sel sabit yang cukup parah dan mematikan di negara-negara di mana tidak tersedia perawatan,” ujarnya, dikutip dari VoA, Selasa (30/7/2013).

Meskipun sebagian besar kasus sel sabit saat ini terkonsentrasi di beberapa negara, Piel mengatakan ada peningkatan keprihatinan secara global.

“Ini pada awalnya terbatas pada daerah endemik malaria, tetapi karena perpindahan penduduk sekarang umum di banyak bagian dunia lainnya, bahkan di Amerika Serikat atau di Inggris, di mana mereka telah menyediakan program pemeriksaan bayi baru lahir untuk penyakit ini. Jadi, jelas menjadi  beban global dan akan meningkat sementara populasi masih bergerak dari negara-negara dimana prevalensi gangguan tinggi, ke negara-negara dengan prevalensi lebih rendah karena globalisasi,” ujarnya.

Piel mengatakan sangat sulit bagi negara-negara berkembang untuk menangani masalah kesehatan ini sendiri. Namun banyak negara telah bekerja sama untuk mengurangi angka kematian pada anak di bawah usia lima tahun.

Ini termasuk pra dan pasca persalinan serta peningkatan gizi. Ini adalah salah satu Tujuan Pembangunan Milenium dan memberi bayi yang baru lahir  yang menderita sickle cell anemia kesempatan hidup yang lebih baik.

“Dalam hal anemia sel sabit,  itu artinya bayi baru lahir  yang sebelumnya bisa meninggal karena tidak terdiagnosa sekarang bisa didiagnosa karena bisa melewati  batas lima tahun. Kemudian mereka mulai menunjukkan gejala atau semacam  komplikasi klinis terkait dengan anemia sel sabit, dimana  intervensi sederhana bisa mengurangi beban jangka panjang,” ujarnya.

Piel mengatakan beberapa intervensi sederhana setelah diagnose, termasuk penisilin profilaksis dan vaksinasi dasar yang dapat mencegah infeksi dan komplikasi jangka panjang. Akses pelayanan kesehatan mendasar juga diperlukan, tambahnya.

Pasangan yang berencana untuk mempunyai anak juga dapat diperiksa untuk penyakit ini dengan menggunakan tes darah sederhana, ujar Piel.

“Langkah pertama adalah semacam pemeriksaan orang tua kemudian berusaha memberi konseling genetik dan menentukan kehamilan mana yang beresiko dan mana yang tidak,” ujarnya.

“Di negara berkembang ada beberapa teknologi baru, yang dapat membantu memilih mana janin atau telur yang mungkin tidak terpengaruh penyakit ini. Tapi ini sangat  mahal dan masih merupakan teknologi baru. Jadi  saat ini tidak ada solusi untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Saya kira  pendidikan dan pemeriksaan merupakan langkah penting dalam jangka pendek untuk mencoba mengurangi beban penyakit ini.”

Institut Kesehatan Nasional Amerika (NIH) menggambarkan sel sabit sebagai kaku dan lengket, menghalangi aliran darah ke anggota tubuh dan organ. Hasilnya bisa nyeri akut atau kronis, kerusakan organ dan peningkatan risiko infeksi.

NIH mengatakan perawatan - termasuk cairan, obat-obatan dan terapi oksigen - dapat meringankan gejala dan komplikasi dan mengurangi rasa sakit. Kesembuhan mungkin terjadi dalam sejumlah kecil kasus lewat transplantasi darah dan transplantasi sel batang pada sumsum tulang. Namun, ini bukan hal yang tersedia atau terjangkau di negara-negara berkembang.

Sumber: VoA