Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

5 Bulan Said Hisabri Jalani 6 Kali Operasi Usus Buntu
Oleh : Arjo
Sabtu | 15-06-2013 | 19:17 WIB
Korban-Operasi.jpg Honda-Batam
Kondisi Said Hisabri yang memprihatinkan saat tiba di RS BP Batam setelah dibawa dari Natuna.

TANJUNGUBAN, batamtoday - Sangat mengenaskan nasib Said Hisabri (39) warga Kampung Setengar, Ranai, Natuna. Selama lima bulan mengalami sakit usus buntu, dia harus menjalani operasi sebanyak enam kali. Hal tersebut terjadi, diduga akibat kegagalan dokter yang menanganinya, dimana usai dioperasi, pasien ini mengalami kebocoran usus bekas operasi.


Mulyadi, keluarga Said Hisabri yang berdomisili di Bintan kepada batamtoday di Tanjunguban, Sabtu (15/6/2013) menerangkan adik kandungnya pertama kali dioperasi di Rumah Sakit Umum Daerah Natuna, pada Februari 2013. Namun setelah dua bulan berjalan, hasil operasi tersebut ternyata bermasalah sehingga harus dioperasi kembali oleh dokter yang menanganinya, yakni dokter Hasan yang disebut sebagai spesialis bedah.

"Celakanya, setelah operasi kedua terus berlanjut hingga ada operasi besar ketiga hingga keenam yang juga gagal," ungkap Mulyadi.

Setelah operasi besar keenam gagal, penanganan Said Hisabri diambil alih oleh dokter Medi P. Purnawan, SpB.FICS. Oleh dokter tersebut, Hisabri disarankan untuk dirujuk ke Batam.

"Mungkin karena pasien menggunakan program Jamkesda sehingga keluarga kami, terkesan dijadikan kelinci percobaan," keluhnya.

Karena, kata Mulyadi, dalam perjalanannya operasi usus buntu tersebut, dokter sempat mengeluarkan usus pasien. Namun hasilnya tetap tidak bisa menyembuhkan pasien dan yang terjadi justru sebaliknya.

Lebih menyedihkan lagi, saat dirujuk dari Natuna menggunakan pesawat udara, tak ada paramedis yang mendampingi pasien walau diketahui kondisinya sudah tidak sehat itu.

"Kalau mau didampingi keluarga pasien, harus membayar uang saku dan mengongkosi pendamping. Jelas keluarga pasien tidak mampu dan terpaksa berangkat sendiri," tambahnya.

Mulyadi menilai, apa yang dialami oleh keluarga tersebut adalah bentuk kekurangpedulian pemerintah terhadap rakyatnya. "Program berobat gratis hanya dijadikan sebagai ajang pencitraan. Nyatanya di lapangan tidak maksimal terutama bagi kami yang secara ekonomi tak mampu," katanya.

Editor: Dodo