Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Minta Presiden Bentuk TPF Kasus Cebongan
Oleh : si
Senin | 25-03-2013 | 19:10 WIB

JAKARTA, batamtoday - Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus penembakan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang menewaskan 4 orang tahanan tersebut.



TPF itu penting agar masyarakat luas mengetahui akar masalah dan aktor-aktor yang melakukan penembakan secara membabi-buta itu. Sebab, selama ini banyak kasus yang melibatkan TNI/Polri berakhir tidak jelas dan  tertutup.

"Selama TNI/Polri yang melakukan penyelidikan dan pengadilan, maka selama itu rakyat tak pernah mendapat informasi yang sesungguhnya dalam kasus yang melibatkan TNI/Polri seperti dalam kasus penembakan Lapas di Sleman. Jadi, justru saya kaget dengan pernyataan Pangdam  IV Diponegoro Mayjen Hardiyono Saroso yang membantah anggotanya terlibat dalam aksi penyerangan itu,  makin memperkuat dugaan sebaliknya bahwa ada keterlibatan anak buahnya,"tandas Lukman Hakim Saifuddin dalam dialog 'Menata Hubungan TNI/Polri' bersama Anggota Komisi Kepolisian Andrianus Meliala, dan pengamat militer dari LIPI Jaleswari Pramowardhani di Jakarta, Senin (25/3/2013).

Kendati mengusulkan TPF, tetapi ia sendiri tidak yakin TPF bisa mengungkapkan kasus tersebut, seperti kasus  aktivis terbunuhnya Munir. Tetapi paling tidak masyarakat dapat memperoleh gambaran mengenai perkembangan pengusutan kasus tersebut.

"Jangan menunggu kerelaan TNI atau Polri, karena penembakan itu tanggung jawab TNI/Polri. Maka Presiden harus panggil Panglima TNI dan Kapolri untuk menuntaskan itu secara hukum. Negara jangan kalah dengan aktor-aktor kekuatan di luar negara," katanya.

Sedangkan Andrianus Meliala mengatakan, polisi sebenarnya sudah mengetahui pelaku penembakan brutal itu, tetapi tidak berani menangkap dan berharap kerelaan TNI untuk menyerahkan anggotanya yang terlibat kasus penembakan tersebut.

"Konflik-konflik semacam ini tidak benar dipicu kecemburuan kesejahteraan, karena secara struktur kepegawaian semisal remunerasi, justru TNI mendapat sebesar 60 persen dan Polri hanya 15 persen. Di internal mereka sendiri memang ada masalah, yang tidak mau melihat bahwa kedua lembaga ini memang berbeda," kata Andrianus.

Sementara Jaleswari Pramowardhani menilai jika pemerintah gagal mengungkap konflik kekerasan tersebut berarti negara dikalahkan oleh kekuatan di luar negara. TNI/Polri yang seharusnya memberikan rasa aman, malahan sebaliknya menciptakan  ketidakamanan dan ketidaknyamanan di masyarakat.

"Sangat ironis kalau TNI/Polri justru menciptakan instabilitas dan ketidakamanan. Pemerintah harus melakukan investigasi dengan menegakkan hukum yang sesungguhnya. Kalau tidak, maka ke depan makin tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat bangsa ini. Ini berbahaya,” kata Jaleswari.

Editor : Surya