Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Draf RUU Pilkada

Dipilih Terpisah, Wakil Kepala Daerah Diusulkan dari PNS
Oleh : si
Rabu | 13-03-2013 | 17:05 WIB

JAKARTA, batamtoday - DPD dan Kemendagri sepakat wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara paket dengan kepala daerah, melainkan dipilih secara terpisah.



Calon wakil kepala daerah diusulkan dari pegawai negeri sipil (PNS) atau birokrasi yang diajukan oleh kepala daerah terpilih untuk kemudian dipilih DPRD.

"Hal itu untuk menghindarkan pecah kongsi usai pemlihan gubernur, bupati dan walikota karena biasanya pasangan calon yang dicalonkan partai politik di perjalanan pecah kongsi. Ini sangat mengganggu proses pembangunan di daerah dan konflik di masyarakat," kata Dani Anwar, Anggota DPD RI di Jakarta, Rabu (13/3/2013).

Dalam diskusi bertema 'Kepala Daerah Pecah Kongsi dan Imbasnya ke Pembangunan Daerah' bersama Dirjen Otonomi daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, dan pengamat psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk, Dani menilai pecah kongsi tersebut akibat ideologi politik kepala daerah dan wakil kepala daerah sama-sama pragmatis.

Karena itu, kata Dani, diperlukan terobosoan baru yang dimasukkan di pembahasan RUU Pilkada yang kini tengah dibahas secara intensif antara pemerintah dan komisi II DPR. Terobosan baru itu antara lain pemenang pemilu legislatif itu secara otomatis sebagai pemenang eksekutif, agar ada proses kesinambungan pembangunan.

Sebab, bagaimana pun bila tak bersesuaian jalan politiknya, maka pecah kongsi tak bisa dihindari.

"Apalagi jika terjadi dua komando dalam pemerintahan daerah, sehingga mengakibatkan terjadinya kubu-kubuan, maka inilah yang menghambat pembangunan di daerah," ujar politisi PKS ini meyakinkan.

Dani menambahkan, terobosan lain adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dipilih satu paket. Wakil kepala daerah bisa lebih dari dua orang yang ditunjuk oleh kepala daerah terpilih, sehingga tidak ada lagi wakil kepala daerah yang membangkang kepada kepala daerahnya.

"Tetapi usulan ini pasti ditentang oleh partai politik yang tetap mempertahankan satu paket dari parpol, karena itu jabatan politik, bukan birokratis," tandasnya. 

Sedangkan Ditjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, dalam RUU Pilkada, pemerintah mengusulkan hanya kepala daerah saja yang dipilih secara langsung. Jabatan wakil kepala daerah, lanjutnya, hanya diperuntukkan bagi daerah yang memiliki  jumlah penduduk yang besar seperti di Jawa, sementara daerah lain tidak perlu wakil kepala daerah, cukup dibantu oleh sekretaris daerah saja.

"Yang berbeda dengan DPD hanya wakil itu ditunjuk oleh Kemendagri bukan oleh kepala daerah terpilih, untuk menghindari politisasi birokrasi. Dengan begitu, diharapkan bisa mengkahiri terjadinya pecah kongsi di pemerintahan daerah," kata Djohermansyah.

Kemendagri, kata Djohan, telah melakukan pendataan terhadap pelaksanaan pilkada gubernur, bupati dan walikota sejak 1 Juni 2005 hingga Maret 2013, sebanyak 94 persen kepala daerah pecah kongsi dan sekitar 6 persen yang masih bertahan.

"Jadi, ini masalah sangat serius dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Birokrasi bisa terpecah antara yang mendukung kepala daerah, dan wakilnya. Ini bukan saja birokrasi yang semrawut, tapi pelaksanannya lebih amburadul lagi," ungkapnya.

Ditjen Oda Kemendagri ini menambahkan, pemerintah juga mengusulkan isu krusial lain dalam RUU Pilkada, yakni masalah politik dinasti, pilkada serentak, sengketa pilkada di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, dana pilkada dari APBD atau APBN. 

"Khusus dana ini mengingat KPUD merupakan satu kesatuan dengan KPU Pusat, maka sebaiknya dari APBN,” tegasnya.

Sementara pengamat psikologi politik UI Hamdi Muluk menilai tidak  ada jaminan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak pecah  kongsi.

"Seperti suami istri yang diawali dengan pacaran dan janji nikah yang sangat religius, juga tak ada jaminan untuk tidak bercerai. Apalagi pasangan kepala dan wakil kepala daerah itu dipaksa atas politik pragmatis, maka wajar kalau kemudian di tengah jalan pecah kongsi," kata Hamdi.

Dengan adanya politik pragmatis itu, kata Hamdi, membuat wakil kepala daerah juga ingin menjadi kepala daerah pada pilkada selanjutnya. 

"Kalau ada politisi ikhlas terus menjadi orang nomor dua, maka politisinya dipertanyakan. Karena itu, mustahil parpol akan menerima PNS menjadi wakil kepala daerah, karena secara langsung akan menghambat dan mengurangi jatah kekuasaan parpol," katanya.

Editor : Surya