Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perbaiki Kinerja Lembaga

DPR Butuh Pusat Studi Legislasi agar Produk yang Dihasilkan Berkualitas
Oleh : si
Selasa | 05-02-2013 | 19:27 WIB
Ignatius Mulyono.jpg Honda-Batam

Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono

JAKARTA, batamtoday - Badan Legislasi  (Baleg) DPR merekomendasikan pembentukan Pusat Studi Legislasi guna meningkatkan kualitas produk legislasi atau perundang-undangan yang dihasilkan lembaga parlemen tersebut.



Dengan adanya pusat studi legislasi itu, maka hanya kuantitas saja yang akan dihasilkan melainkan juga kualitas sehingga tidak akan lagi undang-undang yang dihasilkan dilakukan judicial rewiew karena bertabrakan dengan undang-undang lain atau tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat. 

“Pusat Studi Legislasi itu diharapkan mampu menginventarisir seluruh produk perundang-undangan sejak tahun 1945 sampai sekarang dengan baik. Pusat studi ini harus kuat dan diisi oleh orang-orang yang, memiliki kapabelitas, dan berintegritas. Sehingga dalam pembahasan UU, Badan legislasi tidak perlu petunjuk lagi dalam pembahasan,” tandas Ketua Baleg DPR FPD Ignatius Mulyono dalam dialog Prolegnasbersama Ronald Rofiandri (Direktur PSHK) di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (5/2/2013).

Dengan pusat studi legislasi tersebut lanjut Ignatius, maka DPR mengetahui jumlah UU, materi UU, dan relevansi UU dengan kondisi sosial dan politik masyarakat. Sehingga tidak akan akan menghasilkan produk UU yang sudah ada atau sudah dibahas.

“Jadi, DPR butuh pusat legislasi dan pusat perancang UU yang diisi oleh para pakar profesional. Selama ini hanya pemerintah yang mempunyai, yaitu Komisi Hukum Nasional atau KHN,” ujar Ignatius.

Yang jelas kata Ignatius, dalam pembahasan UU tersebut DPR ingin melibatkan semua pihak, transparan, akuntabel dan berpihak pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

“Dan, meski selama ini sudah melibatkan para pakar, akademisi, LSM, profesional, fraksi-fraksi DPR, dan pemerintah, tapi diakui jika ada kekuarangan pada DPR sendiri yang memang kurang anggotanya berkualitas. Demikian pula dari pihak pemerintah, sering terlambat dalam menyerahkan RUU yang dibutuhkan,” tegas Ignatius lagi.

Sedangkan Ronald mengatakan, seharusnya pembahasan UU itu seluruh kajiannya bisa dilakukan pada tahun pertama bertugas di DPR, sedangkan pembahasan perdebatannya di tahun kedua, ketiga, dan seterusnya. 

“Selama pemerintah dan DPR RI tidak merubah mekanisme kerja Prolegnas, maka alasannya selalu sama seperti sebelumnya ketika gagal mencapai target perundang-undangan. Yaitu, terjebak pada situasi tak terpenuhinya Prolegnas, sehingga Prolegnas kita sebatas judul-judul saja. Itulah yang harus dibongkar; adanya studi banding, anggaran, dan sebagainya,” tegasnya.

Padahal lanjut Ronald, target prolegnas itu bisa dicapai kalau unsur-unsurnya terpenuhi. Yaitu struktur organisasi, jadwal kerja, dan pasangan kerja. Namun, meski latarbelakang anggota DPR RI memang seluruhnya bukan cendekiawan, dan tidak didesign untuk memproduksi UU,  yang penting ada keperpihakan kepada rakyat, bangsa, dan negara.

”Yang penting dari DPR itu ada keperpihakan pada rakyat. Itu konsekuensi sebagai wakil rakyat. Pada prinsipnya, perlu pembenahan dari hulu ke hilir,” tambah Ronald.

Menyinggung terjadinya transaksi dalam proses pembahasan legislasi tersebut, memang tidak bisa dihindari. Dan, disitulah kata Ronald perlunya perimbangan dari partai-partai untuk menyamakan visi dan misi bersama pemerintah, agar produk UU yang dihasilkan tidak bermasalah di kemudian hari, dan dijudicial review oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Berbagai kepentingan dalam pembahasan UU memang sulit dihindari, tapi itu bisa diatasi jika DPR dan pemerintah mempunyai visi yang sama untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara,” pungkasnya.

Sementara itu selama 2009-2012 ini DPR RI baru menghasilkan 247 UU, dari target yang dibutuhkan dan masuk ke Baleg DPR sebanyak 1.000 (seribuan) yang ada dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) DPR RI. Dan, dalam masa sidang 2012 lalu DPR RI sudah menyelesaikan 7 RUU yang terkait dengan pengelolaan sektor moneter dan fiskal.

Yaitu, RUU tentang otoritas jasa keuangan (OJK), RUU Transfer Dana, RUU tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan (JPSK), RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, RUU perubahan atas UU Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan RUU perubahan atas UU Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal.