Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Presiden RI dan Perilaku Gedung Putih
Oleh : redaksi
Rabu | 16-03-2011 | 16:41 WIB

Oleh: Bambang Soesatyo

Lain Presiden Amerika Serikat (AS), lain pula perilaku gedung putih dalam pergaulan global, termasuk terhadap Presiden Republik Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa para pejabat AS dibawah pemerintahan Presiden Barack Obama sekarang ini membocorkan kawat-kawat diplomatik dari Jakarta kepada Wikileaks untuk mengganggu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)?

Jawaban utamanya adalah Gedung Putih sekarang dikendalikan orang-orang Demokrat yang liberal. Para pembantu Obama merasa tidak kenal dekat dengan SBY, sehingga mereka tak punya beban apa pun ketika memberi bocoran kepada Wikileaks. Bahkan, mungkin saja karena alasan-alasan tertentu, kelompok liberal di Gedung Putih merasa tidak senang pada SBY .

Bandingkan kedekatan para pembantu presiden AS sebelumnya, George Walker Bush, dengan SBY. Bush dikelilingi dan dikendalikan oleh kaum neo konservatif berkarakter hawkish seperti John McCain, Paul Wolfowitz dan Dick Cheney. Pada era Bush, mereka mengendalikan Kementerian Luar negeri, kementerian pertahanan, Dewan Keamanan Nasional hingga Kongres AS.

Para pemerhati di dalam negeri mencatat bahwa SBY memiliki hubungan cukup baik dengan Paul Wolfowitz, salah satu orang penting AS kepercayaan Bush. Wolfowitz sendiri pernah menjadi Duta besar di Jakarta. Artinya, kedekatan AS-RI tak hanya tercermin dari harmonisnya kerja sama Bush-SBY, tetapi juga direfleksikan oleh kedekatan SBY dengan orang-orang kepercayaan Bush. Karena itu, selama era Bush, Gedung Putih tak pernah ;menyerang' karakter SBY. Setidaknya, para pejabat Gedung Putih tidak melakukan pembocoran informasi tentang hal-hal aneh di Indonesia kepada media massa.

Sebaliknya, para pembantu Obama justru banyak melakukan pembocoran kawat-kawat diplomatik yang dikirim para diplomatnya dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Jakarta. Di luar sana, ada Wilkileaks yang dikendalikan Julian Assenge yang juga berpandangan sangat liberal. KIta boleh membuat kesimpulan sederhana bahwa Gedung Putih yang liberal dan Julian Assenge saling memanfaatkan untuk sebuah tujuan besar yang belum bisa kita pahami.

Akan tetapi, tidak ada salahnya mengaitkan eksistensi kaum liberal di Gedung Putih dengan kejatuhan beberapa rezim diktator akhir-akhir ini. Sementara Libya terus bergolak, kelompok liberal di Gedung Putih masih dan terus membidik negara lain. Bulan Februari lalu, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton terang-terangan gembira melihat benih perlawanan rakyat Iran terhadap pemerintah di Teheran. Hillary memuji keberanian pengunjuk rasa antipemerintah Iran. Hillary menegaskan, rakyat Iran berhak memperjuangkan nasib mereka, sama seperti perjuangan rakyat Mesir menjatuhkan rezim pemerintah yang otoriter.

Lalu, mengapa para pembantu Obama juga mengganggu presiden Republik Indonesia dengan cara membocorkan kawat-kawat Diplomatik dari Jakarta ke Wikileaks? Mengapa pula materi yang dibocorkan itu fokus pada karakter kepresidenan SBY dan keluarganya? Pasti ada alasan yang sangat khusus. Sebab, di permukaan, hubungan bilateral RI-AS terbilang baik. Pemerintahan SBY berprestasi besar karena sukses memerangi terorisme, hal yang memang amat diharapkan Gedung Putih.

Dua pertanyaan itulah yang harus dicari tahu oleh SBY dan para pembantunya. Kantor presiden dan para menteri berhak membantah apa pun yang dibocorkan Gedung Putih. Namun, menyalahkan The Age dan Sydney Heral Morning jelas salah alamat. Sebab, yang berbuat adalah Gedung Putih dan Wikileaks. Kalau para pembantu presiden terus bereaksi berlebihan, bukan tidak mungkin akan dilakukan pembocoran dokumen berikutnya dengan materi yang lebih menghebohkan.

Langkah paling strategis adalah meningkatkan intensitas lobi ke Gedung Putih. Mengajukan protes atau menggugat kedua koran itu memang tidak salah. Tetapi jelas tidak efektif. Bahkan sama sekali tidak bisa mengubah persepsi publik tentag esensi laporan kedua koran itu.

Sumber Informasi

Banyak kalangan kikuk menyikapi bocoran dokumen yang didapat Wikileaks tentang Indonesia, dan dipublikasikan dua surat kabar Australia, The Age dan Sydney Herald Morning. Sikap kikuk itu bisa dimaklumi karena pemberitaan itu menyerang karakter dan kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono serta keluarganya, khususnya Ibu Negara Ani Yudhoyono.
 
Kikuk untuk memilih percaya atau tidak percaya atas muatan dokumen Wikileaks itu. Sebagai isu, apa yang dilaporkan dua Koran itu sangat sensitive dalam tradisi politik kepemimpinan kita. Itulah alasan utamanya. Selain itu, memang tidak mudah untuk memercayai begitu saja muatan dokumen itu, karena semua bocoran informasi Wikileaks selama ini selalu dibantah secara resmi oleh pemerintah yang merasa ‘diserang’ Wikileaks yang diasuh  Julian Assange itu. Sebaliknya, banyak kalangan tergoda untuk memercayai bocoran dokumen-dokumen itu. Apalagi bersumber dari kawat diplomatik.
 
Berkait dengan dokumen Wikileaks yang didapat dua koran Australia itu, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengatakan bahwa kawat diplomatik umumnya bermuatan informasi yang masih mentah alias belum akurat, sangat prematur dan belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya  Namun, kalau sudah dituangkan dalam sebuah kawat diplomatik, berarti informasi itu memang sudah beredar di kalangan terbatas  atau dalam komunitas diplomat.
 
Dari mana para diplomat asing itu mendapatkan informasinya? Tentu saja dari figur-figur yang dekat dengan kekuasaan atau kantor presiden. Coba simak dengan seksama rincian laporan The Age dan Sydney Herald Morning. Di situ disebutkan beberapa nama yang menjadi sumber informasi para diplomat AS. Itulah yang menggoda siapa saja untuk mau memercayai dokumen Wikileaks itu, kendati tidak sepenuhnya.
 
Apalagi jika kita mau memaknai lebih jauh penjelasan Kedutaan Besar AS di Jakarta. “Kami tidak dapat berbicara tentang keaslian dokumen yang tersebar di media, tetapi kami dapat berbicara tentang praktik penulisan kawat di komunitas diplomatik. Pada dasarnya, laporan lapangan ke Washington adalah apa adanya; biasanya masih informasi mentah," demikian Kedubes AS di Jakarta dalam pernyataanya, Jumat (11/3).
 
Bahwa Wikileaks juga akan membocorkan dokumen tentang hal-hal aneh di Indonesia, sudah diprediksi sebelumnya. Apalagi, Wikileaks mengandalkan para diplomat AS sebagai sumbernya. Bukannya menyederhanakan persoalan, tetapi apa yang dilaporkan The Age dan Sydney Herald Morning cukup dipahami sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan informasi.

Kini, persoalannya sudah hadir di ruang publik. Persoalan itu otomatis akan menjadi bahan pergunjingan publik. Memang, Wakil Presiden, Menko Polhukam dan Menteri Luar Negeri, termasuk Ketua DPR.sudah memberikan bantahan. Masalahnya, apakah publik percaya begitu saja dengan bantahan pemerintah itu? Kebiasaan banyak orang adalah semakin dijejali bantahan, justru bantahan itulah yang dimaknai sebagai kebohongan.
 
Itu sebabnya, banyak pihak berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi penjelasan langsung dan terbuka ke publik. Reaksi presiden tak cukup disuarakan para pembantunya. Bagaimana pun, dokumen 'Wikileaks'  itu menyerang pribadi dan karakter presiden beserta keluarganya.
 
Di tengah merosotnya kepercayaan publik atas kinerja pemerintahannya, bocoran dokumen "Wikileaks" itu bisa meruntuhkan kredibilitas presiden beserta pemerintahannya. Kali ini, presiden harus sigap dan cerdas untuk meredam kemungkinan munculnya isu‑isu yang mengganggu stabilitas nasional.
 
Taruhannya bukan sekadar merosotnya citra presiden, namun juga meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya. Publik punya alasan yang cukup untuk mendesak presiden merespons Dokumen Wikileaks itu. Hari‑hari ini, suasana di dalam negeri kurang kondusif karena berbagai alasan. Jangan sampai laporan 'The Age' itu memicu kemarahan rakyat.

Penulis adalah Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar