Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Taktik Gerilya Vietkong Buat Pasukan AS Kalap

43 Tahun Pembantaian Warga Desa My Lai di Vietnam
Oleh : Tunggul Naibaho/dw-world
Rabu | 16-03-2011 | 12:00 WIB
desa_my_lai.jpg Honda-Batam

Tentara AS saat memeriksa reruntuhan di Desa My Lai, Vietnam, pada tahun 1968. (Foto: Ist).

Pembantaian di Vietnam pada tanggal 16 Maret 1968 merupakan salah satu peristiwa tersadis dalam sejarah perang modern. Hanya seorang tentara AS saja yang diajukan ke pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan kejadian ini.

Hari Rabu ini, 16 Maret, 43 tahun yang lalu terjadi pembantaian sadis oleh tentara Amerika di Desa My Lai, Vietnam. Pada akhir Perang Vietnam, tentara Amerika Serikat dengan brutal membunuh sekitar 500 penduduk. Diantara korban pembunuhan ini terdapat banyak perempuan dan anak-anak.  Setelah melalui penyelidikan arsip-arsip AS yang intensif, dapat diketahui dengan jelas, bahwa kasus My Lai bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi selama Perang Vietnam.

Dini  hari, tanggal 16 Maret 1968, tentara Amerika Serikat dari Brigadir ke-11 mendarat dengan helikopter di dekat sebuah desa bernama My Lai, di Vietnam. Misi mereka adalah: membasmi pasukan Vietkong yang bersembunyi di sana. Perintah yang dikeluarkan sang pemimpin pasukan yang kala itu berusia 24 tahun, Letnan William Calley jr., adalah: cari dan hancurkan!

Serdadu AS merazia gubuk-gubuk. Tapi karena mereka tidak mendapatkan pejuang Vietkong, akhirnya mereka menggiring penduduk desa untuk dikumpulkan. Setelah itu dimulailah pembantaian terhadap para warga lanjut usia, pria, perempuan dan anak-anak. Salah seorang penduduk yang lolos dari pembantaian itu, Fran Ha Thi, yang kini berusia 75 tahun, menuturkan:

“Ketika tentara Amerika datang, suami saya sedang berada di sawah. Saya sendiri di rumah bersama anak saya. Tiba-tiba mereka menembak membabi-buta. Saya terkena tembakan. Saya bilang kepada anak saya: lari selamatkan dirimu! Mereka akan tembak mati kamu. Ia memohon untuk dibiarkan hidup, tapi tidak berhasil. Kejadian itu sangat mengerikan.”

Para serdadu melemparkan granat ke dalam gubuk-gubuk, menjadikan bayi-bayi sebagai sasaran tembak dan menghujamkan bayonet pada orang yang berusaha lari. Tiga jam kemudian, sekitar 500 penduduk tidak berdosa tewas.

Para pejabat militer Amerika Serikat dan juga kalangan pemerintahan Nixon berhasil menutup-nutupi peristiwa ini selama 18 bulan. Sampai akhirnya seorang wartawan bernama Seymor Hersh, pada bulan November 1969, memaparkan kisah pembantaian ini di majalah Life. Dunia internasional dikejutkan dengan insiden ini. Sejak itu dunia mengetahui: masih banyak pembantaian lain di luar My Lai.

Ahli sejarah Bern Greiner mengatakan: "Setiap satuan tempur yang diterjunkan di Vietnam, mulai dari tingkat divisi sampai satuan kecil, dapat dikatakan terlibat dalam kejahatan perang. Bisa berupa penyiksaan, pembunuhan tawanan perang atau pembantaian.“

Bernd Greiner yang telah meneliti arsip AS memperkirakan, bahwa penduduk sipil yang terbunuh selama Perang Vietnam berjumlah puluhan ribu. Dan korban di My Lai dicatat bukan sebagai penduduk sipil, tapi pejuang Vietkong.

Hampir tidak ada serdadu yang membangkang perintah untuk menghancurkan My Lai, kecuali, salah satunya adalah Hugh Thomson. Pilot helikopter ini berhasil menyelamatkan beberapa perempuan dan anak-anak dengan cara mengancam pasukan AS, mengatakan akan menembaki mereka dari helikopternya yang dilengkapi persenjataan.

Hanya seorang pelaku pembantaian saja, yaitu Letnan Calley, yang dijatuhi hukuman. Calley dijatuhi hukuman seumur hidup, tapi hanya mendekam di penjara selama tiga hari. Kemudian dia menjalani tahanan rumah selama tiga tahun, sebelum Presiden Nixon pada tahun 1974 memberi pengampunan.

Apa yang menyebabkan terjadinya pembantaian? Para peneliti perang menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tindakan pembantaian adalah  taktik perang gerilya yang dilancarkan pejuang Vietkong, yang membuat frustasi tentara AS yang tidak terlatih. Dan hal ini memicu kemarahan dan emosi yang tidak terkendali di pihak pasukan AS yang akhirnya mendorong mereka melakukan pembantaian.

40 tahun setelah My Lai, strategi perang AS di Irak juga dipermasalahkan. Di Irak terjadi juga pembantaian massal penduduk sipil, seperti di Haditha, atau pelanggaran kemanusian di penjara Abu Ghraib.

Bernd Greiner menjelaskan: “Pihak militer seharusnya dapat menarik pelajaran, ketika pada tahun tahun 70-an serta 80-an dan juga 90-an muncul tuntutan-tuntutan kepada pemimpin politik: Jangan kirim kami ke dalam situasi yang sama! Kami tidak siap menjalani peperangan asimetris dan kami juga tidak terdidik untuk itu. Masalahnya adalah, bahwa pemimpin politik di Amerika Serikat tidak menghiraukan keberatan ini dan tetap menjalankan perang di Irak, yang situasinya hampir sama. Walupun dimensinya tidak sama dengan di Vietnam, tapi akibat yang ditimbulkan di sana setara.”