Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Debat Santri
Oleh : Redaksi
Rabu | 23-04-2025 | 08:24 WIB
23-04_lomba-debat-santri_94585488.jpg Honda-Batam
Ilustrasi santri UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jawa Barat. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

DALAM perjalanan ke Lasem, saya bicara dengan Novi Basuki. Akhir pekan lalu. Di dalam mobil BYD Denza pinjaman.

Kami sepakat: bikin acara kompetisi debat. Dalam bahasa Mandarin. Khusus untuk santri pondok pesantren. Tomy Gutomo, dirut Harian Disway pun setuju.

Peserta debat memang dibatasi: hanya boleh diikuti oleh para santri dari pondok pesantren. Kita akan lihat santri berdebat dalam bahasa mandarin. Unik. Menarik. Futuristik.

Kami pun mencari tema debat. Banyak usulan. Sebelum perjalanan sampai Tuban sudah kami sepakati. Temanya: Santri, AI, Dakwah --atau tema sejenis itu yang diusulkan perusuh.

Pelaksanaannya masih lama: bulan September 2025. Masih empat bulan lebih. Finalnya: 1 Oktober. Kami sengaja mengumumkannya lebih awal. Itu karena temanya berat. Mereka perlu buka banyak literatur. Bahkan perlu merenung panjang. Juga perlu mengembangkan imajinasi.

Soal literatur artificial intelligent para santri tahu ke mana mencari. Tapi bagaimana bentuk dakwah di era AI perlu imajinasi. Dan apakah AI bisa dipakai untuk dakwah masih perlu perenungan yang dalam.

Misalkan: avatar. Apakah lewat AI juru dakwah hebat-hebat waini akan meng-copy diri ke dalam bentuk avatar-avatar. Lalu avatar itu mendominasi jagat baru dakwah kita.

Apakah ketika era itu tiba, masih 'laku' kah para juru dakwah level bawah. Akankah hanya juru dakwah terkemuka yang menjadi winner take it all. Seperti Google, TikTok yang menghabisi aplikasi sejenis.

Berimajinasi seperti itu sulit bagi para santri. Imajinasi santri dibatasi oleh doktrin. Tapi imajinasi sendiri tidak bisa dikekang. Ia liar seperti suket teki. Sulit dibasmi.

Di samping itu dunia dakwah itu sensitif. Itu menyangkut doktrin. Semua muslim wajib berdakwah: walau pengetahuannya hanya sangat minimal --satu ayat.

Pokoknya tema itu menarik. Apalagi bagi anak muda usia SMA. Masih ada waktu lebih empat bulan. Bisa banyak belajar. Bisa banyak merenung.

Juga masih bisa banyak diskusi. Saran saya tim yang akan ikut debat segera dibentuk. Satu tim tiga orang. Satu pondok pesantren bisa mengirim lebih dari satu tim. Mereka harus mendapat surat pengantar dari pimpinan pondok.

Tidak semua harus atas nama pondok pesantren. Atas nama lembaga apa pun boleh. Asal usianya setingkat Aliyah-SMA. Pun boleh tim itu independen. Misalnya satu santri dari pondok A, bersatu dalam tim dengan santri dari pondok B dan C.

Waktu cucu saya ikut kompetisi debat di Thailand, Korea dan Amerika, saya pikir tim tiga orangnyi dari satu sekolahnyi: SMP Muhammadiyah 5 Surabaya. Ternyata hanya dia yang dari Muhammadiyah. Satu temannyi lagi dari Jakarta. Satunya dari Kenya, Afrika.

Khas anak muda sekarang: mereka saling cari teman lewat internet. Ketika saya ikut mengantar dia ke Connecticut, Amerika, saya baru tahu: cucu saya itu juga baru pertama bertemu dengan anggota timnyi di lokasi debat. Yakni saat sama-sama akan melakukan pendaftaran ulang. Kalau bukan anak sekarang tidak bisa: satu tim belum pernah saling bertemu.

Debat Santri nanti pun seperti itu. Bebas. Boleh atas nama pondok pesantren, boleh juga tim independen.

Di babak penyisihan sistemnya gugur. Satu tim bertemu dengan tim lain. Pemenangnya masuk tahap berikutnya. Baru di babak finallah lima tim bertemu di satu debat.

Masih ada waktu. Masih terbuka ide baru agar jalannya debat lebih seru.

Novi sendiri yang jadi ketua dewan juri. Juri lainnya dari Masjid Cheng Ho dan dari alumnus santri yang seperti Novi, pandai bahasa Mandarin.

Novi adalah doktor ilmu politik dari Guangzhou. Setelah menjadi santri di pondok Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Novi kuliah di Xiamen. Lalu kuliah S-2 juga di Xiamen. Baru doktornya di Guangzhou. Disertasi doktornya ia tulis dalam bahasa Mandarin.

Denza jalan terus. Kang Sahidin menikmati setirnya. Belum sampai Sarang, Rembang, rapat sudah selesai. Saya tunjukkan ke Novi di mana pondok Sarang-nya almarhum Mbah Maimun. "Itu, kanan jalan itu," kata saya. Saya pernah sowan ke Mbah Maimun Zubair di situ.

Kami pun sepakat tidak langsung ke Lasem. Tidak jauh setelah melewati Sarang, kami belok kiri. Mampir ke pondok pesantrennya Gus Baha. Begitu top nama Gus Baha di dunia dakwah. Saya ingin sowan.

Ternyata Gus Baha sedang ke luar kota. Tidak masalah. Kami ngobrol dengan salah satu santri seniornya. Itulah pondok untuk ilmu Alquran, utamanya untuk hafal quran.

Kami pun tiba di Lasem sudah hampir senja. Di situ ada acara 10 tahunan. Sepuluh tahun sekali: Kirab Akbar. Yakni arak-arakan dewa yang didatangkan dari berbagai kelenteng se Indonesia.

Salah satu acaranya: sarasehan budaya. Habis sarasehan, sejauh malam apa pun, kami harus pulang ke Surabaya. Kami hanya pinjam mobil listrik itu satu hari. Malam itu juga harus dikembalikan ke pemiliknya: menantunya Pak Iskan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia