Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menguak Jatuhnya IHSG Selasa Pagi, Gema Global Atau Cermin Kerapuhan Internal?
Oleh : Redaksi
Selasa | 08-04-2025 | 19:24 WIB
IHSG_Jeblok.jpg Honda-Batam
Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Oleh Achmad Nur Hidayat

PASAR keuangan Indonesia kembali diguncang tekanan jual masif pada Selasa, 8 April 2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok hingga memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt).

Meski sempat dibuka kembali, indeks tetap terjebak di zona merah dengan pelemahan signifikan. Banyak analis menyebut sentimen negatif dari pasar AS dan Eropa sebagai biang keladi.

Penurunan yang begitu drastis, melampaui ambang batas wajar, memaksa otoritas bursa mengambil langkah darurat: trading halt atau penghentian sementara perdagangan.

Sebuah sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan, menandakan kepanikan luar biasa di kalangan pelaku pasar. Setelah jeda singkat untuk mendinginkan suasana, perdagangan dibuka kembali, namun luka belum pulih. Indeks tetap terkapar di zona merah, mengonfirmasi bahwa tekanan jual masih sangat kuat.

Namun, pertanyaan kritis tetap menganga: mengapa IHSG jatuh lebih dalam dibandingkan bursa saham regional seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand?

Jawabannya tidak hanya terletak pada guncangan global, tetapi pada kerapuhan struktural pasar keuangan Indonesia dan sikap reaktif otoritas yang abai membangun ketahanan sistemik.

Gelombang Global dan Ilusi Keterkaitan Langsung

Penurunan tajam di pasar AS dan Eropa pada Senin, 7 April 2025, menjadi pemicu awal kepanikan di Asia. Indeks pan-Eropa STOXX 600 anjlok 4,5%, disusul penurunan serupa di London (FTSE 100 -4,38%) dan Paris (CAC 40 -4,78%).

Di AS, Dow Jones kehilangan 0,91%, meski Nasdaq masih bertahan di wilayah positif. Guncangan ini memang berdampak pada pasar Asia, termasuk Indonesia. Namun, klaim bahwa IHSG hanya menjadi "korban pasif" dari gejolak global adalah penyederhanaan yang berbahaya.

Faktanya, pasar saham regional seperti Malaysia (KLCI) dan Filipina (PSEi) hanya mengalami koreksi moderat, sementara IHSG terjerembap lebih dalam (lihat gambar).

Hal ini mengindikasikan bahwa masalah utama bukan hanya pada arus global, melainkan pada kerentanan spesifik Indonesia. Sebagai pasar berkembang (emerging market), Indonesia memang rentan terhadap aliran modal asing yang fluktuatif.

Tapi mengapa negara dengan fundamental makro "cukup sehat" seperti Indonesia justru lebih rapuh dibandingkan negara ASEAN lain?

Keroposnya Fondasi Pasar: Ketergantungan pada Modal Asing dan Komoditas

Di sinilah kita perlu menggali lebih dalam, mencari akar masalah yang mungkin tersembunyi di balik permukaan. Penurunan IHSG yang berlebihan ini bisa jadi merupakan manifestasi dari kombinasi berbagai faktor internal yang membuat pasar kita lebih rentan terhadap guncangan.

Salah satu faktor yang patut dicermati adalah komposisi investor di BEI.

Dominasi investor ritel yang cenderung lebih mudah panik dan mengikuti sentimen jangka pendek, ditambah dengan porsi investor asing yang signifikan dengan aliran dana bersifat hot money (mudah masuk dan keluar), menciptakan struktur pasar yang kurang stabil.

Ketika sentimen global memburuk, investor asing cenderung menarik dananya (capital outflow) dari pasar negara berkembang yang dianggap lebih berisiko, sementara investor ritel lokal ikut panik menjual (panic selling), menciptakan efek bola salju yang menekan indeks secara drastis.

Berbeda dengan pasar lain yang memiliki basis investor institusional domestik yang lebih kuat dan berorientasi jangka panjang, yang bisa berfungsi sebagai penahan (buffer) saat terjadi gejolak.

Faktor lain yang mungkin berperan adalah isu likuiditas dan struktur pasar itu sendiri.

Apakah pasar kita cukup dalam?

Apakah ada konsentrasi berlebih pada saham-saham tertentu yang sangat sensitif terhadap isu global (misalnya komoditas atau sektor yang bergantung pada perdagangan internasional)?

Isu tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance/GCG) yang belum merata, transparansi informasi yang kadang masih bias, serta potensi adanya sentimen negatif spesifik domestik (misalnya terkait kebijakan ekonomi, stabilitas politik, atau bahkan isu sektoral tertentu) yang kebetulan muncul bersamaan dengan tekanan global, bisa memperparah situasi.

Jangan lupakan pula faktor psikologis pasar pasca libur panjang Lebaran, di mana pelaku pasar mungkin kembali dengan tingkat kewaspadaan atau bahkan kecemasan yang lebih tinggi terhadap akumulasi berita selama libur.

Selain itu, komposisi indeks IHSG yang didominasi sektor komoditas (pertambangan, perkebunan) dan perbankan membuatnya rentan terhadap siklus ekonomi global.

Sementara negara seperti Vietnam dan Singapura telah mendiversifikasi ekspor dan pasar modal ke sektor teknologi atau jasa keuangan, Indonesia masih terjebak dalam mentalitas "ekonomi bahan mentah". Ketika harga komoditas bergejolak-seperti yang terjadi akhir-akhir ini-IHSG langsung terpukul.

Kesiapan Otoritas: Tertidur di Tengah Tanda Bahaya atau buruknya tata kelola?

Kelambanan otoritas keuangan dalam memperkuat ketahanan pasar menjadi faktor krusial. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kerap terjebak dalam pola responsif, bukan preventif.

Padahal, tanda-tanda tekanan sudah terlihat sejak awal 2025: aliran modal asing mulai berkurang, nilai tukar rupiah berfluktuasi, dan defisit transaksi berjalan melebar. Namun, tidak ada kebijakan sistematis untuk membendung risiko ini.

Secara institusi, penjaga stabilitas sistem keuangan adalah Kemenkeu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), dan Bank Indonesia (BI). Namun institusi tersebut tidak berhasil menciptakan orkestrasi untuk menahan kejatuhan IHSG dan Nilai Tukar pada Senin dan Selasa 7-8 April 2025 ini.

Mekanisme trading halt dan circuit breaker memang merupakan instrumen standar yang dimiliki bursa di seluruh dunia untuk meredam volatilitas ekstrem.

Namun, keberadaan instrumen ini lebih bersifat reaktif, sebagai rem darurat ketika kecelakaan hampir terjadi.

Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: sejauh mana otoritas kita proaktif dalam mengantisipasi dan membangun ketahanan pasar sebelum krisis datang?

Kesan yang muncul, terutama ketika melihat respons pasar kita yang lebih rapuh dibanding tetangga, adalah adanya semacam "kemalasan" atau setidaknya kurangnya langkah antisipatif yang fundamental dari otoritas.

Apakah stress test yang dilakukan sudah cukup komprehensif untuk memodelkan skenario guncangan eksternal seperti ini dan dampaknya pada perilaku investor domestik?

Apakah upaya pendalaman pasar (market deepening) melalui diversifikasi produk, penguatan basis investor institusional domestik, dan peningkatan literasi keuangan bagi investor ritel sudah berjalan cukup efektif untuk mengurangi kerentanan?

Bagaimana dengan pengawasan terhadap potensi praktik insider trading atau manipulasi pasar yang bisa memperburuk kepanikan?

Koordinasi KSSK Masih Sebatas Omon-Omon

Koordinasi antarotoritas dalam KSSK seperti OJK, BI, Kementerian Keuangan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tentu penting, namun perlu juga diterjemahkan ke dalam langkah-langkah mikroprudensial yang lebih spesifik di pasar modal. Kesan dalamnya penurunan IHSG adalah koordinasi sekedar omon-omon.

Kebijakan yang jelas, konsisten, dan komunikasi yang transparan dari otoritas dapat membantu membangun kepercayaan pasar.

Sebaliknya, kebijakan yang ambigu atau sering berubah, serta respons yang terkesan lambat atau sekadar formalitas pasca-kejadian, dapat mengikis kepercayaan tersebut dan membuat pasar semakin rentan terhadap rumor dan sentimen negatif.

Kritik mengenai "malasnya" otoritas mungkin terdengar keras, namun ini merefleksikan ekspektasi publik akan peran sentral mereka dalam menjaga stabilitas dan integritas pasar, bukan hanya sebagai pemadam kebakaran tetapi juga sebagai arsitek benteng pertahanan yang kokoh.

Pelajaran dari Tetangga: Diversifikasi dan Regulasi Proaktif

Perbandingan dengan pasar ASEAN lain menunjukkan bahwa kerentanan Indonesia bukanlah takdir. Filipina, misalnya, berhasil mengurangi ketergantungan pada saham asing dengan memperkuat partisipasi dana pensiun domestik. Vietnam, meski ekonominya lebih kecil, agresif menarik investasi langsung (FDI) di sektor manufaktur berteknologi tinggi, sehingga pasarnya kurang volatil.

Sementara itu, otoritas keuangan Indonesia masih berkutat pada masalah klasik: ego sektoral antara BI, OJK, dan pemerintah. Koordinasi yang lemah ini terlihat saat BI menurunkan suku bunga dari 6.0% ke 5.75%, pemerintah malah berniat menaikan PPN 12%.

Membangun Fondasi yang Lebih Tangguh

Kejadian Selasa pagi ini harus menjadi lonceng peringatan yang keras. Mengandalkan circuit breaker saja tidak cukup. Perlu ada evaluasi menyeluruh mengenai akar kerentanan pasar modal Indonesia.

Upaya pendalaman pasar harus digenjot lebih serius. Mendorong pertumbuhan reksa dana domestik, dana pensiun, dan asuransi sebagai investor institusional jangka panjang yang kuat adalah kunci.

Edukasi dan literasi keuangan bagi investor ritel perlu terus ditingkatkan agar tidak mudah terseret arus panik dan lebih memahami risiko investasi.

Dari sisi regulator, peningkatan kapasitas pengawasan (surveillance) pasar dengan memanfaatkan teknologi (RegTech/SupTech) menjadi keharusan untuk mendeteksi anomali dan potensi manipulasi secara dini.

Penyempurnaan aturan main, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran, serta peningkatan kualitas GCG emiten perlu menjadi prioritas berkelanjutan.

Yang tak kalah penting, otoritas perlu lebih gesit dalam membaca dinamika global dan domestik, melakukan asesmen risiko secara berkala, dan menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang lebih berlapis dan antisipatif, bukan sekadar mengandalkan mekanisme rem darurat yang sudah ada.

Krisis sebagai Cermin Kegagalan Pembelajaran

Pada akhirnya, badai di pasar modal hari ini, meskipun dipicu oleh angin dari luar, mengungkapkan banyak hal tentang kondisi internal rumah kita.

Menyalahkan faktor eksternal memang mudah, tetapi berbenah diri dari dalam adalah langkah yang jauh lebih krusial untuk memastikan pasar modal Indonesia tidak hanya mampu bertahan dari guncangan, tetapi juga tumbuh menjadi lebih kuat, stabil, dan kredibel di masa depan.

Sudah saatnya kita berhenti sekadar bereaksi dan mulai membangun fondasi ketahanan yang sesungguhnya. Indonesia tidak kekurangan analis atau dokumen strategis, tetapi kekurangan keberanian politik untuk melakukan reformasi radikal.

Jika otoritas BI dan OJK tetap berpuas diri dengan stabilitas semu dan hanya sibuk menyalahkan faktor eksternal, Indonesia akan terus menjadi "pasien kronis" pasar keuangan global.

Saatnya beralih dari mentalitas "survival" menuju "resilience"-bukan sekadar bertahan dari badai, tetapi membangun kapal yang tak mudah tenggelam.

Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta