Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menghindari Praktik Politik Uang Jelang Pemilu 2024
Oleh : Opini
Senin | 26-06-2023 | 15:48 WIB
A-ilustrasi-PEMILU_jpg2154.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Pemilu damai 2024. (Foto: Ist)

Oleh Maya Naura Lingga

JELANG pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pengawasan makin diperketat. Tidak hanya pengamanan masa kampanye yang dilakukan, tetapi juga pencegahan politik uang. Masyarakat membantu Bawaslu dalam pengawasan dan melaporkan jika ada politik uang yang terjadi di sekitar mereka.

Pemilu 2024 rencananya akan diselenggarakan tanggal 14 Februari 2024. Masyarakat dihimbau untuk mewujudkan Pemilu damai dan menjaga persatuan. Selain itu, Pemilu harus dilakukan dengan azas jujur dan adil, karena tujuannya adalah mencari pemimpin baru Indonesia yang membawa kemajuan.

Kejujuran dalam Pemilu dititikberatkan karena menjadi kunci dalam kesuksesannya. Namun sayang sekali ada ancaman politik uang (money politic) dalam Pemilu 2024. Biasanya politik uang dilakukan oleh oknum calon legislatif (caleg) atau kader partai yang ingin memenangkan Pemilu tetapi dengan jalan yang tidak benar.

Politik uang terjadi ketika masa kampanye sampai beberapa jam sebelum masa pemilihan presiden/partai. Contohnya adalah pemberian amplop berisi uang agar seseorang memilih caleg tertentu. Kemudian, ada juga pembagian sembako, scarf, kaos, atau barang-barang lain yang bertujuan agar caleg tersebut dimenangkan saat Pemilu.

Tujuan lain dari politik uang adalah untuk tidak memilih caleg tertentu. Politik uang ini bertujuan untuk menjungkalkan caleg lain sehingga ia kalah dalam Pemilu. Oknum yang melakukannya juga bertujuan untuk menggagalkan Pemilu karena bisa jadi sang pemilih tidak mencoblos caleg manapun sehingga banyak yang melakukan golongan putih (golput).

Anggota DPR RI, Supriansa menyatakan bahwa ia setuju dengan para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan kualitas demokrasi harus lebih baik dengan pencegahan terjadinya politik uang. Praktik politik uang bisa terjadi dalam sistem proporsional tertutup maupun proporsional terbuka.

Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilihan yang memungkinkan rakyat untuk memilih beberapa wakil rakyat di suatu daerah pemilihan (dapil) yang merupakan anggota partai politik. Sistem ini telah digunakan oleh Indonesia pada pemilu sebelumnya.

Sementara sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan yang memungkinkan rakyat untuk memilih partai, sehingga tidak bisa memilih wakil rakyat secara personal. Saat ini ada wacana Pemilu akan kembali ke sistem proporsional tertutup seperti pada Pemilu 2014 dan sebelumnya.

Ketika ada sistem proporsional tertutup maupun terbuka maka ada ancaman politik uang. Oleh karena itu Pemilu harus diawasi dengan ketat, supaya tidak ada money politic yang bisa mengacaukan atau menggagalkan gelaran akbar ini.
Supriansa mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan pengawasan ketat, khususnya jelang Pemilu 2024 mendatang. Penegakan hukum bagi para pelaku politik uang juga harus dilakukan secara adil. Dasar hukum dari pelanggaran Pemilu adalah Pasal 73 ayat 3 UU Nomor 3 Tahun 1999. Isinya:

Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.

Bawaslu melarang keras praktik politik uang pada Pemilu 2019. Pemberi dan penerima bisa dipidana. Pengamat politik Suhardi menyatakan bahwa pelaku maupun penerima politik uang bisa dijerat Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, dengan sanksi pidana berupa kurungan penjara selama tiga tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah.

Praktik politik uang yang dilakukan pada masa tenang akan lebih berat sanksinya. Ancaman pidana yaitu kurungan penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak 46 juta rupiah.

Bahkan, bagi caleg yang terbukti bersalah melakukan politik uang atau serangan fajar, kemudian divonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah, maka walaupun caleg itu terpilih sebagai anggota dewan, itu bisa dibatalkan. Pelaku maupun penerima uang sogokan akan dihukum dengan tegas.

Bawaslu pun mengajak masyarakat untuk sama-sama terlibat secara aktif dalam partisipasi pengawasan di masa tenang. Pengawasan di masa tenang, akan lebih optimal dengan keterlibatan masyarakat luas.

Masyarakat harus berani melaporkan kepada Bawaslu, jika menemukan ada pelanggaran pemilu misalnya praktik politik uang atau serangan fajar tersebut. Praktik politik uang adalah kejahatan demokrasi yang tidak bisa ditolerir. Jangan takut, jika ada ditemukan dugaan serangan fajar, masyarakat dipersilakan melapor ke petugas Bawaslu.

Lebih lanjut, Bawaslu sudah memiliki perangkat pengawasan hingga ke tingkat TPS. Pihaknya akan memaksimalkan pengawasan. Pengawas TPS diharapkan mampu meminimalisir dan mencegah berbagai potensi pelanggaran pemilu di masa tenang. Bawaslu berkomitmen untuk menciptakan pemilu demokratis dan bermartabat.

Jangan ada lagi praktik politik uang jelang Pemilu 2024, karena bisa menggagalkan gelaran akbar pesta demokrasi ini. Politik uang bisa membuat Pemilu kacau karena banyak yang golput setelah menerima uang sogokan. Ketika ada praktik politik uang maka juga melanggar azas Pemilu yang jujur dan adil.*

Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara Jakarta