Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Di Usia 67, DPR Hadapi Tiga Tantangan dalam Menjalankan Fungsi Legislasinya
Oleh : dpr/si
Rabu | 29-08-2012 | 14:48 WIB
Marzuki_alie.jpg Honda-Batam

Ketua DPR Marzuki Alie

JAKARTA, batamtoday - DPR RI dalam menjalankan fungsi legislasinya menghadapi tiga tantangan yang berimplikasi terhadap berlarut-larutnya proses penyelesaian pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang. Tantangan itu pada tahap perencanaan, pembahasan dan pasca pengesahan.


Ketua DPR RI menyampaikan hal itu pada Rapat Paripurna DPR RI (Rabu 29/8) bertepatan dengan Ulang Tahun DPR/MPR RI ke-67, di gedung DPR.

Dalam menyampaikan Executive Summary Laporan Kinerja DPR RI Agustus 2011 – Agustus 2012, Marzuki mengatakan, tahap perencanaan pembentukan undang-undang diawali dengan penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam penetapan Prolegnas, DPR RI senantiasa berusaha menyerap aspirasi masyarakat melalui forum Rapat Dengar Pendapat Umum. “DPR senantiasa berupaya mengakomodir usulan-usulan yang diajukan,” kata Marzuki. 

Pengalaman menunjukkan bahwa capaian RUU yang dihasilkan tidak pernah berbanding lurus dengan perencanaan jumlah RUU yang ditetapkan dalam Prolegnas. Untuk itu, perlu dicarikan solusinya antara lain perencanaan RUU dalam Prolegnas hendaknya didasarkan pada realitas kebutuhan.

Selain itu, Prolegnas seharusnya sinkron dan selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Karena pada prinsipnya, katanya, penyusunan Prolegnas dimaksudkan untuk memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum di bidang peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan skala prioritas penyusunan RUU sebagai suatu program yang berkesinambungan dan terpadu sebagai pedoman bersama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mewujudkan sistem hukum nasional.

Sementara tantangan pada tahap pembahasan adalah waktu penyelesaian pembahasan RUU yang relatif cukup lama. Pada umumnya, lamanya pembahasan dikarenakan perbedaan pendapat yang cukup tajam, baik antar fraksi maupun antara DPR RI dengan Pemerintah.

Seperti yang terjadi terhadap beberapa RUU antara lain RUU tentang Aparatur Sipil Negara, RUU tentang Pendidikan Kedokteran, RUU Pengurusan Piutang Negara dan Daerah serta RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

RUU tersebut, akhirnya tidak dapat diselesaikan pada Tahun Sidang 2011-2012 meskipun sesungguhnya sudah dibahas sesuai dengan mekanisme yakni dalam dua masa persidangan bahkan beberapa kali perpanjangan waktu.

Marzuki mengatakan, perbedaan pandangan merupakan hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi dan DPR RI berusaha mengedepankan penyelesaian melalui musyawarah mufakat. Semua upaya dilakukan agar diperoleh hasil yang optimal untuk mencapai kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan negara dan masyarakat. 

Ke depan, tambahnya, DPR RI berusaha meminimalkan hambatan politis melalui berbagai komunikasi intensif dan keterbukaan yang dijalin dalam setiap pembahasan Rancangan Undang-Undang.

Hambatan berikutnya, dalam pelaksanaan dan pemberlakuan undang-undang di masyarakat, banyak undang-undang yang telah disahkan diajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi.

DPR RI memandang banyaknya undang-undang yang diuji materialkan tersebut bukan merupakan satu-satunya ukuran mutlak terkait dengan kualitas undang-undang.

Perkembangan demokrasi di Indonesia, telah menghadirkan lembaga negara baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penafsir konstitusi yang salah satu tugasnya menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam setiap pmbahasan RUU, DPR RI selalu mempertimbangkan konstitusionalitas setiap rumusan antara lain melalui kajian-kajian dengan mendengarkan pendapat ahli konstitusi maupun pelaku perubahan UUD 1945 untuk mendapat original intent.

Namun perlu disadari tidak semua kepentingan dapat diakomodir dalam undang-undang, terlebih apabila terdapat pertentangan, sehingga terdapat kecenderungan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut Marzuki, dalam negara demokratis hal tersebut wajar dan menjadi salah satu wujud mekanisme check and balances.