Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Sudah Gerak Cepat Tangani Kasus Gangguan Ginjal Akut
Oleh : Irawan
Kamis | 27-10-2022 | 15:48 WIB
siti_nadia_tarmizi_gt68_b.jpg Honda-Batam
epala Biro Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Kemenkes sejak mengetahui terjadi peningkatan kasus gangguan ginjal akut pada anak pada bulan Agustus 2022 telah bergerak cepat untuk mencegah peningkatan kasus tersebut.

Nadia menuturkan, Kemenkes mendeteksi gangguan ginjal akut dengan cepat mulai bulan Agustus 2022. Pasalnya, terjadi peningkatan kasus yang signifikan dari bulan sebelumnya.

Tercatat, pada bulan Agustus ada 36 kasus, sedangkan sebelumnya peningkatan hanya satu atau dua kasus.

Untuk memastikan peningkatan kasus tersebut, Nadia menuturkan, Kemenkes mengklarifikasi dan mencocokan informasi data tersebut dengan Ikatan Dokter anak Indonesia (IDAI).

"Dari pembahasan-pembahasan ini disampaikan dan IDAI setuju ini adalah gagal ginjal berbeda," kata Nadia.

Nadia menuturkan, kondisi klinis gangguan ginjal akut yang dihadapi pasien saat ini tentu berbeda dengan gejala klinis sebelumnya, yakni tidak bisa buang air kecil secara tiba-tiba. Namun, situasi gangguan ginjal tersebut cepat terjadi perburukan pada pasien.

Kemenkes, kata Nadia, melakukan pemeriksaan virus/bakteri dan jamur dari spesimen darah dan urine. Namun, tidak ditemukan penyebab konsisten.

Apalagi, gagal ginjal yang biasa memiliki kesempatan sembuh 90% saat cuci darah, namun khusus untuk penyakit gagal ginjal sejak Agustus hingga Oktober 2022, proses cuci darah tidak tidak memberikan hasilnya yang signifikan.

"Hanya 30% dari awal-awal bulan Agustus-September itu yang bisa sembuh dengan sempurna," ucap Nadia dalam Gelora Talk bertajuk 'Gagal Ginjal Akut Mengkhawatirkan Negeri, Bisakah Dihentikan?', Rabu (26/10/2022) sore.

Menurut Nadia, Kemenkes mendapat titik cerah penyebab gangguan ginjal tersebut, karena WHO mengeluarkan surat edaran pada 5 Oktober 2022 tentang kasus gangguan ginjal pada anak di Gambia, Afrika Barat.

Adapun penyebabnya adalah pelarut obat-obatan yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). EG dan DEG merupakan zat kimia pelarut tambahan dalam sirop obat.

Namun sebelumnya, Kemenkes, kata Nadia, telah melakukan berbagai langkah pencegahan kenaikan kasus seperti mengimbau melalui surat edaran terkait menghentikan sementara penggunaan dari pada sirup obat pada fasilitas pelayanan kesehatan, dan tenaga kesehatan.

"Ini tentunya untuk melindungi masyarakat kita. Padahal waktu itu, sebenarnya terus mencari penyebabnya tetapi secara cepat kita putuskan dulu untuk menghentikan obat dalam bentuk cairan maupun sirop," paparnya.

Nadia menuturkan, belajar dari Gambia, Kemenkes juga melakukan intervensi lanjutan karena ada dugaan kemungkinan gangguan ginjal akibat dampak obat-obatan.

Adapun intervensinya seperti meningkatkan kewaspadaan kepada tenaga kesehatan mengenai gejala-gejala gangguan ginjal pada anak, hingga mengeluarkan surat edaran terkait standarisasi tata laksana termasuk pemeriksaan laboratoriumnya untuk mencari penyebabnya menghentikan penggunaan virus.

Sebab, kasus gangguan gagal ginjal di Indonesia ada indikasi mengarah ke intoksikasi akibat adanya zat toksik cemaran dari pelarut yang selama ini digunakan untuk melarutkan atau menstabilkan cairan obat dalam bentuk sirop.

Lanta, pemerintah memberikan obat antidotum Femopizole injeksi untuk pengobatan pasien gangguan gagal ginjal akut yang didatangkan dari Singapura, diberikan gratris kepada seluruh pasien.

Obat tersebut, kemudian diuji coba kepada 11 pasien gangguan gagal ginjal di RSCM. Hasil uji coba itu memperlihatkan kondisisiu pasien yang membaik dan stabil.

Editor: Surya