Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

RKUHP Rancangan Oligarki Antidemokrasi dan Bermental Kolonial!
Oleh : Redaksi
Kamis | 30-06-2022 | 08:52 WIB
A-mahasiswa-ui-tolak-rkuhp.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi unjuk rasa mahasiswa tolak RKUHP. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR pada Selasa (28/6/2022) menunjukkan bahwa ada sejumlah masalah yang terkandung dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah dibahas para anggota dewan yang terhormat.

Mahasisa menilai RKUHP ini memiliki potensi membawa Indonesia kembali ke negara otoriter seperti era Orde Baru. Karena ada pasal-pasal dalam RKUHP ini yang berpotensi memasung kebebasan warga untuk berserikat dan menyampaikan pendapat.

Demonstrasi pun sempat berlangsung panas. Karena mahasiswa menuntut Ketua DPR Puan Maharani menemui mereka, tetapi tidak kunjung keluar untuk menemui mahasiswa yang sedang berdemo.

Meski demikian, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, pemerintah tidak akan menghapus pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP, kendati pasal tersebut menuai kritik.

Eddy menampik bahwa pasal tersebut dibuat untuk membatasi kritik. Ia justru menuduh orang-orang yang beranggapan demikian sesat berpikir.

"Itu orang yang sesat berpikir, dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Kan yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik. Jadi yang menyamakan penghinaan dengan kritik itu sesat pikir," ujar Eddy, melalui keterangannya, Rabu (29/6/2022).

Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu mengakui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan.

Namun, Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa umum dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Ada empat pasal yang diuji dalam Putusan MK 2006 tersebut. Yaitu Pasal 134, 135, 136, dan 207. Gugatan pasal 134, 135, 136 dikabulkan, pasal 207 ditolak. Perintah MK, mengubah delik itu menjadi delik aduan.

Itu sebabnya, jelas Eddy, mengapa bunyi pasal 351, 353, 354 RKUHP itu delik aduan. Sebab itu sudah berdasarkan putusan MK.

"Makanya kalau saya tantang, yang tidak setuju itu untuk dibawa ke MK, enggak akan berani, karena pasti ditolak," tegasnya.

Di sisi lain, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai perubahan delik penghinaan presiden menjadi delik aduan pada RKUHP tidak menghilangkan masalah utama dalam pasal antidemokrasi itu.

Justru sebaliknya, hal itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah mencari celah untuk mengingkari putusan MK.

"Kita patut sama sama curiga bahwa RKUHP ini adalah produk para oligarki politik untuk membungkam suara publik yang kritis terhadap kinerja kebijakan pemerintah. Pasal-pasal dalam RKUHP ini bisa menjadi pasal karet yang dapat diinterpterasikan secara subjektif oleh aparat dalam penerapannya di lapangan," beber keterangan resmi PSHK, dikutip dari laman resminya, (29/6/2022).

"Dengan berbagai potensi bahaya bagi kehidupan demokrasi yang terkandung di dalam RKUHP ini, maka publik yang masih berharap demokrasi ini akan berjalan dengan baik di Indonesia wajib untuk menolak RKUHP ini," pungkas keterangan PSHK.

Sumber: RMOL
Editor: Dardani