Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sengketa Kepemilikan Pulau Berhala

Sejarahwan UI Sebut Makam Datuk Berhalo Hanya Tumpukan Batu Hitam
Oleh : surya
Senin | 16-07-2012 | 22:14 WIB
Harto_Yuwono.jpg Honda-Batam

Harto Yuwono dan Pembina Yayasan Rumun Melayu Bersatu-Hulubalang Melayu Serumpun (RMB-HMS) Riau dan Kepulauan Riau Susilowadi

JAKARTA, batamtoday -Sejarahwan Universitas Indonesia (UI)Harto Yuwono mengatakan, makam peninggalan Datuk Berhalo yang diklaim Provinsi Jambi sebagai penemu Pulau Berhala hanya berupa tumpukan batu, bukan sebuah makam. Makam tersebut sengaja diciptakan sebagai cerita rakyat Jambi, yang sebenarnya tidak pernah ada.



"Makam Datuk Berhala itu, tidak ada yang sengaja diciptakan sebagai cerita rakyat. Yang ada hanya tumpukan batu-batu hitam, bukan layaknya sebuah makam Islam," kata Harto Yuwono di Jakarta, Senin (16/7/2012).

Menurut Harto, jika benar makam Datuk Berhalo itu makam Islam, tentu akan ada petilasan atau nisannya, layaknya sebuah makam Islam. "Arkeolog juga akan bilang itu bukan makam Islam, tidak ada petilan atau nisan hanya sekedar tumpukan batu hitam, malahan lebih mirip tempat pemujaan agama tertentu," katanya.

Jambi, kata Harto, harusnya sadar adanya makam Datuk Berhalo di Pulau Berhala tidak serta merta langsung menyatakan bahwa Pulau Berhala adalah milik Jambi karena Datuk Berhalo berasal dari Jambi. Hal itu jelas merupakan penyesatan logika berpikir dan pengaburan fakta sejarah, karena kepemilikan didasarkan adanya imijinasi sebuah makam, padahal dari berbagai dokumen Pulau Berhala adalah bagian dari wilayah Riau Lingga sebelum dimekarkan menjadi dua provinsi, Riau dan Kepulauan Riau.

"Di Afrika Selatan ada makam Syekh Muhammad Yusuf dari Makassar, apakah serta merta kita lantas mengklaim Afrika Selatan bagian dari wilayah Makkasar atau Indonesia, tentu tidakkan. Sama halnya dengan Jambi tidak bisa mengklaim karena ada makam Datuk Berhalo, lantas Pulau Berhala milik Jambi. Ini ada penyesatan dalam berpikir, semua dokumen menyatakan Pulau Berhala milik Lingga," katanya.
 
Harto juga menegaskan, klaim Jambi atas kepemilikan Pulau Berhala juga tidak didukung oleh validitas legalitas historis sejarah. Bukti kepemilikan yang disampaikan Jambi hanya berupa mitos (legenda) dan tulisan artikel di sebuah majalah geografi dan eksiklopedia di Belanda yang legalitasnya lemah, karena bukan arsip.

"Data klaim kepemilikan Jambi antara lain mengacu tulisan di majalah TNAG (Tijdschiift Vork Aardrijkskundigt Gennortschap), sebuah majalah geogfrafi di Belanda terbit 1870-1942. Pada 1914 mengangkat tulisan tentang Pulau Tujuh, dikatakan Berhala eiland bij Jambi yang diterjemahkan Berhala milik Jambi padahal artinya Berhala dekat dengan Jambi," kata Sejarahwan Universitas Indonesia yang fasih berbahasa Belanda ini. 

Namun dari arsip sejarah, Jambi menyodorkan tiga tulisan utama sebagai dasar argumennya. Tulisan ini adalah dari Dr. J Palulus (Encyclopaedie van Ne.Indie, 1917), J. Tiedeman (TNAG, 1938) dan C. Kroesen (TNAG, 1922). Lalu untuk mendukung tulisan ini, Jambi menyampaikan mitos Paduka Datuk Berhala yang telah dibumbu-bumbui agar menjadi kisah melegenda, yang dibuktikan dengan makam peninggalannya.

Dari kedua sumber ini, tim sejarah Jambi menyusun sebuah ikhtisar yang mendukung keabsahan status Pulau Berhala sebagi bagian dari wilayah Jambi. Jika hal itu dianggap final, kata Harto, sumber-sumber historis yang diajukan sebagai bahan menuntut penguasaan atas Pulau berhala merupakan sumber lemah.

"Kelemahan pertama pada makam Datuk Berhalo, jika dikatakan sebagai penyebar Islam dan Keturunan Nabi Muhammad Saw, mengapa makamnya tidak tidak memuat tulisan kaligrafi seperti layaknya makam-makam para tokoh sejaman," katanya.

Doktor lulus dengan predikat cum laude ini mengaku, ia telah melakukan studi mengenai sejarah kepemilikan Pulau Berhala mulai dari Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional hingga ke Belanda. Dari semua arsip yang ditemukan baik dalam bentuk rahasia (manuscript) dan formal (leksikografi) lengkap berikut peta-petanya dari tahun 1513 - tahun 1955, Pulau Berhala adalah milik Riau Lingga, atau Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau saat ini.

Harto juga menemukan banyak data-data tentang Kesultanan Jambi masa lalu yang membuat kontrak-kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda, diantaranya adalah Pangeran Anum pada 1721 dengan Gubernur Jenderal Zwaardecroon di Batavia dimuat dalam Corpus Diplomaticum. Dalam perjanjian itu dikatakan bahwa penguasa Jambi tidak akan menuntut klaim wilayah dari Belitung sampai Malaka (pasal 6), diantaranya Selat Berhala dan Pulau Berhala.

"Traktat ini dibuat karena Pengeran Anum merasa khawtir ketika Zwaardecroon mengutus Laksamana Van der Hoedt ke Jambi untuk meminta pertanggungjawaban atas perompakan di perairan Laut Cina Selatan oleh orang-orang Jambi. Untuk menghindari hukuman VOC, Pangeran Anum kemudian menegaskan bahwa orang-orang itu bukan kawulanya dan wilayah Jambi tidak mencakup perairan tersebut," kata pria berkacamata yang menguasai empat bahasa ini, antara lain Bahasa Belanda ini.

Kontrak lain juga dibuat raja-raja Jambi dengan VOC sejak 1645 hingga akhir abad XIX. Bersama pemerintah Hindia Belanda, semua perjanjian itu diperbarui yang pada prinsipnya semakin mengurangi hak kekuasaan wilayah Jambi. "Sampai penghapusan kekuasaan Jambi oleh Belanda 1916 (Kolonial Verslag 1917), klaim Jambi atas Pulau Berhala tidak pernah bisa ditemukan dasar hukumnya," tegas Harto Juwono.

Bahkan dalam laporan para kepalaa pemerintah daerah Jambi (Asisten Residen, Residen dan Kontrolir) pada setiap akhir masa jabatannya yang disebut Memorie van Overgave. Dalam Memorie yang merupakan koleksi KITLV di Leiden ini, dengan tegas dinyatakan bahwa pengawasan keamanan dan pelayaran di Selat Berhala berada di bawah tanggungjawab Controleur yang berkedudukan di Penuba dengan bantuan mercu suar yang dibangun disamping Pulau Berhala.

"Dari situ bisa diketahui bahwa sebenarnya Selat Berhala dan Pulau Berhala merupakan wewenang dari penguasa daerah (gezaghebber kemudian controleur) Lingga," katanya.

Harto menambahkan, keberadaan Pulau Berhala merupakan bagian wilayah Riau Lingga dibuktikan dengan adanya Staatblad van Nederlandsch Indie tahun 1922, 1924 dan 1932 yang didukung peta-petanya. Sejarah Pulau Berhala sebagai bagian Riau Lingga juga ditemukan sejak zaman Portugis (laporan Tom Pirres, Summa Oriental), laporan Marvin van Carnbee tahun 1958 dan peraturan pembentukan Afdeeling Pulau Tujuh tahun 1911.

Harto Juwono bersama Yosepin Hutagalung dari Arsip Nasional dan Pudjianti dari Perpustakaan Nasional melakukan kajian sejarah Kesultanan Indragiri sampai peristiwa 5 Januari 1949. Ia diminta Pembina Yayasan Rumun Melayu Bersatu-Hulubalang Melayu Serumpun (RMB-HMS) Riau dan Kepulauan Riau Susilowadi. Secara tak sengaja dalam proses penelitian tersebut, ia menemukan fakta-fakta dan data-data kalau Indragiri adalah bagian dari wilayah Kerajaan Riau Lingga yang berkedudukan di Daik, termasuk sejarah penguasaaan atas Selat Berhala dan Pulau Berhala.

Harto Juwono juga telah mengarang buku sejarah Lingga, hasil kerjasama dengan Kementerian Agama yang didalamnya juga memuat sejarah kepemilikan Pulau Berhala, dimana Lingga ada pemilih sah Pulau Berhala. Buku ini akan segera diterbitkan dalam waktu dekat.