Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Cabut Secara Permanen, Susun UU Anti-Oligarki
Oleh : Redaksi
Jumat | 26-11-2021 | 19:56 WIB
Farhan-A.jpg Honda-Batam
Farhan Abdilah Dalimunthe, Juru Bicara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). (Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan Undang Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada Kamis (25/11/2021) kemarin. UU yang menggunakan metode Omnibus Law tersebut dinilai mengesampingkan pedoman baku yang berlaku dalam penyusunan UU. MK juga memandang beleid tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Oleh sebab itu, ke depan pemerintah tidak diperkenankan mengeluarkan tindakan kebijakan strategis dan berdampak luas menggunakan dasar UU Cipta Kerja ini. Selain itu, MK juga tidak memperbolehkan pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU tersebut sebelum ada perbaikan dalam kurun waktu dua tahun mendatang.

"Sejak dari filosofi dan konsepsinya UU Cipta Kerja ini berwatak liberal kapitalistik, bertentangan dengan dasar negara Pancasila, karena negara menyerahkan nasib hidup bangsa kepada korporasi, dengan mempermudah serta membuka selebar-lebarnya kran investasi di Indonesia," tulis Farhan Abdilah Dalimunthe, Juru Bicara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), dalam siaran persnya, Jumat (26/11/2021).

Belum lagi proses legislasinya bermasalah, dari bentuk rancangan undang-undang menjadi undang-undang dilakukan secara tertutup, tidak partisipatif dan terkesan dirahasiakan dari publik. "Karena UU ini kemudian hanya menguntungkan para investor dan segelintir elit super kaya, mendapatkan penolakan yang luar biasa dari rakyat Indonesia, baik itu akademisi, tokoh agama, ormas, petani, buruh, mahasiswa, bahkan pelajar," kata dia.

Menurutnya, proses legislasi dan muatan UU Cipta Kerja ini bermasalah sejak awal dirumuskan. Dengan harapan UU ini mampu mendatangkan banyak investasi yang akan menaikkan pertumbuhan ekonomi, meluasnya lapangan kerja, naiknya tingkat produksi dan ekspor serta pendapatan yang terus bertambah, negara melepaskan tanggung jawab dengan menyerahkan kekuasaan ekonomi, kesejahteraan sosial dan tenaga kerja kepada swasta. Padahal sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada tiga soko guru ekonomi nasional yaitu BUMN, UMKM & KOPERASI, korporasi.

"UU Cipta Kerja menjadikan negara berpihak atau menjadi alat dari satu golongan, yaitu investor dan segelintir orang super kaya," katanya.

Akibat konsepsi pembangunan ekonomi yang liberal kapitalistik tersebut, pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum pernah dirasakan seutuhnya oleh mayoritas rakyat Indonesia. Berdasarkan laporan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata hanya dinikmati oleh 20 persen warga negara paling kaya, sedangkan 80 persen sisanya atau 200 juta lebih rakyat masih berada dalam jerat kemiskinan.

Bukan hanya itu, ketimpangan ekonomi di Indonesia juga masih begitu lebar. Berdasarkan cacatan OXFAM, Indonesia menempati peringkat 6 negara paling timpang di dunia. Sementara Credit Suisse melabeli Indonesia sebagai negara paling timpang peringkat ke 4 di dunia.

Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi pada praktiknya tidak ekuivalen dengan peningkatan serapan tenaga kerja. Pada tahun 2003 lalu, 1 persen pertumbuhan mampu menyerap 400 ribu tenaga kerja, sementara saat ini penyerapannya hanya mencapai 110 ribu tenaga kerja.

Meski pertumbuhan ekonomi tumbuh pesat beberapa tahun lalu, nyatanya kontribusi sektor investasi tidak cukup dominan. Sumbangan terbesar ekonomi Indonesia masih dimiliki oleh sektor informal yang menyentuh angka 60 persen.

"UU Cipta Kerja juga rentan menimbulkan konflik perampasan sumber daya dan perusakan lingkungan. Hal itu karena investasi yang menjadi penggerak utama tentu membutuhkan lahan, butuh tanah, mengeruk bumi dan merambah hutan. Tidak jarang terjadi konflik agraria dalam setiap prosesnya," tandasnya.

"Kami tidak menolak konsep UU dalam bentuk Omnibus Law, selama UU tersebut mewadahi hajat hidup orang banyak, hajat hidup bangsa Indonesia," imbuhnya.

Dan melihat kehidupan ekonomi dan politik sekarang ini yang cenderung dikuasai segelintir orang, oligarki, terkonsentrasinya sumber daya yang menyebabkan kesenjangan, membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia adalah UU Anti-Oligarki.

"UU tersebut merupakan UU Omnibus, yang akan melikuidasi seluruh peraturan maupun regulasi yang merugikan rakyat Indonesia seperti UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Cipta Kerja dan undang-undang lainnya yang bermasalah," sebutnya.

Lanjutnya, semangat Omnibus Law harus diarahkan untuk melindungi kepentingan hidup rakyat banyak, bukan hanya menguntungkan segelintir elit dan orang-orang super kaya.

"Sehingga cita-cita mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur bisa terwujud. Menangkan Pancasila!" pungkasnya.

Editor: Gokli