Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mutasi Virus Hingga Relawan Jadi Kendala Uji Klinis Vaksin Merah Putih
Oleh : Redaksi
Selasa | 24-08-2021 | 11:24 WIB
A-VAKSIN-MERAH-PUTIH_jpg21.jpg Honda-Batam
Ilustrasi uji klinis vaksin merah putih. (Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, membeberkan sejumlah kendala uji klinis vaksin Merah Putih mulai dari mutasi virus corona hingga potensi sulit dapat relawan akibat sudah dilakukan vaksinasi massal.

Amin menjelaskan bahwa semakin banyak masyarakat yang sudah divaksinasi maka nantinya akan sedikit jumlah subjek yang memenuhi syarat untuk melakukan uji klinis.

Hal itu diungkap lantaran persyaratan melakukan uji klinis hanya dapat dilakukan kepada subjek atau manusia, yang belum pernah menerima vaksinasi.

"Semakin banyak populasi yang sudah divaksinasi, semakin sedikit jumlah subjek yang memenuhi persyaratan untuk uji klinis, karena persyaratan uji klinis adalah mereka yang belum pernah divaksinasi," ujar Amin dalam webinar Society of Indonesian Science Journalists, Senin (23/8/2021).

Amin menilai bahwa hal itu merupakan situasi yang dilematis, lantaran di satu sisi masyarakat mengharapkan adanya kekebalan komunal atau herd immunity secepat mungkin, tapi di sisi lain hal itu disebutnya menjadi tantangan.

Dari sisi virus, Amin mengatakan semakin banyak orang yang terinfeksi SarS-CoV-2, maka semakin banyak kesempatan virus bermutasi. Oleh karena itu, ia menilai harus terus memantau varian virus Corona yang mendominasi virus yang beredar saat ini.

Amin menuturkan bahwa saat ini lebih dari 90 persen virus Corona yang beredar adalah varian B.1.617.2 atau disebut varian Delta. Dengan seiring banyaknya mutasi, ia belum dapat memprediksi kondisi mutasi virus corona beberapa bulan ke depan.

"Saat ini lebih dari 90 persen yang beredar adalah varian Delta. tapi kita belum tahu kondisi beberapa bulan ke depan," tutur Amin.

Lebih lanjut ia juga menuturkan bahwa tantangan pengembangan vaksin Merah Putih lainnya yakni harus memenuhi tiga kriteria. Yakni aman, efektif dan halal serta dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

"Tentunya kita juga bisa diharapkan membantu negara lain yang belum mendapatkan vaksin secara memadai," katanya.

Ia menilai bahwa vaksin merupakan produk kesehatan yang regulasi persyaratanya lebih banyak, tidak seperti regulasi pada pembuatan makanan.

Di samping itu Amin menilai bahwa penelitian di bidang pengembangan obat dan vaksin merupakan suatu investasi dan risiko yang sangat besar. Amin mengatakan bahwa riset dan pembangunan vaksin membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Ia menggambarkan bahwa biaya yang dibutuhkan dalam melakukan uji klinis saja dibutuhkan Rp 20 juta pada satu subjek. Sedangkan dibutuhkan sedikitnya 5000 hingga 20 ribu subjek.

Untuk melakukan uji klinis itu, kata Amin, setidaknya dibutuhkan Rp 400 miliar untuk 1 kandidat vaksin. Jika ada dua kandidat maka Rp 400 miliar merupakan anggaran minimum untuk melakukan uji klinis.

"Kalau misalnya 20 ribu subjek kalikan Rp 20 juta, maka kita butuhkan Rp400 miliar untuk 1 calon vaksin. Nah kalau kita punya 2 calon vaksin misalnya dibutuhkan 400, [itu] sedikitnya. Belum lagi kalau kita berpikir untuk melakukan multi center study, ya kita melakukan uji klinis itu di luar negeri misalnya," ujar dia.

Namun begitu jika dibandingkan dengan mendatangkan vaksin dari luar negeri, angka Rp400 miliar itu dinilai murah. Hal itu disebutnya jika nilai investasi yang digelontorkan itu dapat memproduksi 400 juta vaksin, maka per dosisnya seharga US$ 1 hingga US$ 2 saja atau senilai Rp 14 ribu hingga Rp 28 ribuan (kurs Rp 14.399).

"Kalau dihitung-hitung satu dosisnya murah sekali, sekitar US$1-2. Dibandingkan kalau kita impor lebih tinggi harganya," tutup Amin.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Yudha