Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR RI Minta Pemerintah Pertimbangkan Penerimaan Pajak di Tengah Pandemi
Oleh : Irawan
Kamis | 17-06-2021 | 08:04 WIB
MPR_pajak_pandemib.jpg Honda-Batam
diskusi Empat Pilar 'Pendapatan Negara dan Keadilan Sosial'

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mengingatkan Pemerintah agar mempertimbangkan penerimaan pajak di tengah Pandemi Covid-19 dari semua sisi dalam memperluas penerimaan pajak.

"Di tengan Pandemi Covid-19 dengan dilakukannya revisi UU KUP nantinya Ketentuan umum perpajakan tentu secara menyeluruh, akan mempengaruhi juga kebijakan perpajakan kita, yang jelas banyak kemudian kalangan pengusaha itu ya menolak kebijakan ini," tegas Arsul dalam diskusi Empat Pilar 'Pendapatan Negara dan Keadilan Sosial' bersama anggota MPR RI H. Kamrussamman (P Gerindra) dan pengamat Ekonom (Indef) Dr. Enny Sri Hartati di Gedung MPR Jakarta, Rabu (16/6/2021).

Menurut Arsul , ditengah pandemi seperti ini dikhawatirkan akan melemahkan daya beli dan berpengaruh pada putaran roda perekonomian.

"Dimana tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok atau Sembako melalui perubahan kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terus mendapat perhatian di ruang publik," ujarnya.

Ia mengingatkan agar dalam setiap menetapkan suatu kebijakan harus dilakukan secara komprehensif. Sebab, kebijakan yang diberlakukan menjadi hukum positif dan mengikat bagi semua warga negara.

"Saya ingin mengajak kita semua, di dalam penetapan kebijakan, apalagi nanti kebijakan itu akan dituangkan menjadi sebuah hukum positif dalam bentuk undang-undang, tentu yang mesti kita lihat secara komprehensif adalah hal-hal yang logical thinking nya itu masih harus diikuti dulu, " jelas Arsul Sani.

Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengatakan, sampai hari ini, Komisi XI DPR RI yang merupakan mitra kerja dari Menteri Keuangan (Menkeu) atau Direktorat Jenderal Pajak belum menerima agenda pembahasan atau materi yang berkaitan dengan usulan RUU KUP tersebut.

"Karena itu secara resmi kami belum pernah membahas dan secara resmi kami belum pernah membaca pasal demi pasal yang menjadi konten dan pada ususlan revisi UU tersebut," katanya.

Namun Ia berpandangan, UU KUP memang harus sudah sepatutnya dilakukan revisi. Karena, telah terjadi evolusi sistem ekonomi Indonesia, atau telah terjadi proses transformasi ekonomi yang dulu lebih konvensional sekarang mulai beralih ke digital. Mulai dari produksi, pemasaran hingga transaksi sudah beralih ke digital.

"Maka adaptasi terhadap regulasi perpajakan kita harus disesuaikan dengan kondisi perkembangan ekonomi suatu bangsa, ekonomi suatu negara," katanya.

Sementara itu, ekonom Senior Indef, Enny Sri Hartati mempertanyakan langkah pemerintah mengusulkan revisi atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) ke DPR yang melebar ke sejumlah objek pajak termasuk sembako.

Dalam draf revisi UU tersebut termuat hal pokok mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga Tax Amnesty Jilid II. Bahkan pemerintah berencana mengenakan tidak saja Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembilan bahan pokok (sembako), tapi juga sektor jasa pendidikan.

Enny mengatakan rencana pengenaan PPN tidak perlu dilakukan lewat revisi undang-undang. Sebaliknya, hal itu cukup direvisi lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai bendahara negara.

"Aturan yang benar kan begini, apakah itu tarif, itu kewenangan Kementerian Keuangan dan cukup dengan PMK, ngapain masuk ke revisi UU KUP, itu menimbulkan suatu pertanyaan publik," kata Enny.

Editor: Surya