Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kenaikan Pajak Bisa Rusak Pemulihan Ekonomi, Pemerintah Diminta Berhati-hati soal RUU Perpajakan
Oleh : Irawan
Rabu | 26-05-2021 | 08:52 WIB
matnoerb3.jpg Honda-Batam
Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelora Indonesia Achmad Nur Hidayat (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Achmad Nur Hidayat mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam merancang RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), karena kenaikan pajak bisa berdampak buruk bagi pemulihan ekonomi.


"RUU Perpajakan yang didalamnya berisi kenaikan pajak PPN 15 persen dan tambahan layer baru PPh perorangan akan menambah beban masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah harus cermat," ujar Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya, Selasa (25/5/2021).

Menurut dia, kurva pemulihan ekonomi akan berlarut lama seperti huruf L, bila waktu pembahasan RUU reformasi pajak tersebut terlalu terburu-buru.

"Alih-alih ingin menambah penerimaan negara, isu kenaikan pajak dalam draf RUU KUP, malah menyebabkan pemulihan ekonomi tersendat. Kurva krisis ekonomi bisa berbentuk L daripada V yang rugi bangsa semua," ujar pria yang akrab disapa Matnoer atau ANH ini.

Partai Gelora, lanjutnya, konsen pada percepatan ekonomi masyarakat jadi kebijakan pemerintah yang merencanakan kenaikan pajak harus dievaluasi sampai ekonomi pulih sebagaimana posisi sebelum Pandemi.

Bila ekonomi Indonesia bisa pulih 2022, maka 2023 pada dinilai waktu yang tepat bicara RUU Reformasi Pajak, bukan saat ini

"Pemerintah masih dapat melonggarkan defisit diatas 3% sampai 2022 sesuai UU No2/2020 sehingga tahun 2023 adalah waktu yang tepat bicara RUU KUP dan reformasi perpajakan," ujarnya.

Dalam kondisi Pandemi Covid-19 masih berlangsung, Partai Gelora berharap jangan bebani masyarakat dengan pajak. Sebab, akan membuat kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehar-sehari akan semakin sulit.

"Jangan bebani pikiran rakyat dengan pajak, kita harus bijak di tengah tekanan ekonomi yang membesar dan resesi yang belum berakhir akibat krisis pandemi Covid-19 saat ini," pungkas pengamat kebijakan publik Narasi Institute ini.

Seperti diketahui, pembahasan RUU Ketentuan Umum Perpajakan atau RUU Perpajakan kembali mengemuka di publik. RUU Perpajakan sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021, yang diitetapkan pada Maret 2021 lalu.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengirim surat kepada DPR untuk segera membahas RUU tersebut.

"Bapak Presiden sudah kirim surat kepada DPR untuk bahas ini dan diharapkan bisa segera dilakukan pembahasan," ungkap Airlangga dalam acara Halal bi Halal virtual, Rabu (19/5/2021).

Airlangga mengatakan ada beberapa perubahan ketentuan jenis mulai dari perubahan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), perubahan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, pengurangan tarif PPh badan, hingga perubahan ketentuan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST), hingga penetapan pajak karbon.

Selain sejumlah jenis pajak itu, pemerintah juga akan menuangkan aturan terkait pengampunan pajak (tax amnesty) alias amnesti pajak. Tetapi, belum ada rincian mengenai perubahan-perubahan ini.

Namun, kabar yang sudah beredar di publik saat ini menyatakan bahwa pemerintah berencana mengerek tarif PPN dari 10 persen pada saat ini menjadi 15 persen.

Potensi ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 terkait Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang memberi ruang tarif PPN hingga 15 persen.

Berdasarkan UU Nomor 46/2009 tentang PPN, diberi wewenang untuk menaikkan tarif PPN sampai dengan 15 persen, namun ha; itu belum pernah dilakukan.

Editor: Surya