Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Muhammadiyah dan Kebudayaan di Era Modern
Oleh : Opini
Sabtu | 21-11-2020 | 13:08 WIB
LUXY-UNM.png Honda-Batam
Luxy Pujo Sakti. (Foto: Ist)

Oleh Luxy Pujo Sakti

KEBUDAYAAN berasal dari bahasa sansekerta yakni buddhayah yang berbentuk jamak dari dari kata buddhi yang memiliki arti akal. Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan memiliki arti yakni sebagai suatu hal yang diperoleh dari akal pikiran manusia.

Menurut Koentjaraningrat dalam buku "Pegantar Ilmu Antropologi" (1996) menjelaskan bahwa pengertian budaya merupakan sebuah warisan sosial meliputi kesenian dan tradisi sopan santun.

Adapun pendapat lain dari Ernest Cassirer, yang mengartikan kebudayaan sebagai agama, seni, falsafat, mitos, sejarah, serta bahasa dalam buku "An Essay of Man" (1944).

Kebudayaan merupakan sebuah kebiasaan turun-temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi dari nenek moyang masyarakat Indonesia. Kebudayaan juga dibungkus dalam bentuk akal pikiran yang bertujuan untuk memenuhi ide, pikiran serra gagasan manusia, untuk tetap dapat melangsungkan kehidupan yang selaras dengan masyarakat.

Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912, di mana pada waktu itu penjajahan dan cengkraman imperalisme dan kolonialisme barat di Indonesia masih sangat tinggi, bahkan seluruh oraang muslim dipenjuru dunia masib belum ada yang merasa merdeka dari tangan colonial. Muhammadiyah lahir dengam membawa semangat serta opimisme baru dengan membawa selogan "Islam Berkemajoean".

Muslim kemuhammadiyahan di era modern yang lahir dalam kultur Islam masa pembaruan ini mampu menghasilkan elit muslim di berbagai lembaga pemerintahan. Genre baru terbentuk dalam Islam Indonesia yang mampu memperkuat pilar pergerakan Islam pada basis kemasyarakatan dan civil society.

Kehadiran tanpa Islam berkemajuan atau Islam reformis-modernis tidak mampu terjadi lahirnya wajah Islam Indonesia yang kosmopolit, urban, serta mampu hidup di tengah modernitas tahap lanjut dan globalisasi secara mendunia seperti yang mampu disaksikan saat ini.

Muhammadiyah di era modern memang sangat cepat dalam perkembangannya, namun disamping itu muhammadiyah juga masih menghargai kebudayaan-kebudayaan local yang masih di anut oleh budaya di Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri bahwasannya Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya, kaya akan tradisi-tradisi peninggalan nenek moyang, masyarakat Indonesia tidak mampu melepaskan kebudayaan mereka dan berganti dengan kebudayaan baru.

Perkembangan teknologi dan informasi sangat mempengaruhi perkembangan muhammadiyah di era modern, salah satunya ialah dengan program-program dakwah melalui media dan dimuat oleh media merupakan cara jitu dalam menyebar luaskan ajaran Islam di era modern.

Muhammadiyah tidak anti dengan budaya atau mengabaikan budaya jawa. Karena memang pada dasarnya muhammadiyah sendiri memiliki hubungan yang sangat erat dan dinamis dengan budaya local (Jawa).

Karena memang Muhammadiyah sendiri lahir dan dilahirkan di tanah jawa yakni di Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan jawa. Muhammadiyah didirikan oleh Kh Ahmad Dahlan, beliaupun juga mampu menguasai kraton tanpa harus menyingkirkan dan memusuhi masyarakat jawa.

Pada awal berdirinya Muhammadiyah dan kebudayaan sebagai identitas tunggal, muhammadiyah sangat mengapresiasi kebudayaan jawa gerebek di Yogyakarta. Gerebek merupakan kebudayaan turun temurun masyarakat Yogyakarta yang setiap tahunnya diselenggarakan tiga kali meliputi, gerebek mulud, gerebek besar dan gerebek pasa. Muhammadiyah disini menganggap bahwa gerebek juga dapat dimanfaatkan dalam penyebaran dakwah di Yogyakarta.

Muhammadiyah tidak semata-mata menjadi organisasi yang berbasis agama, namun juga muhammadiyah menyediakan poliklinik, rumah sakit, fasilitas pendidikan dan masih banyak lagi.

Pada bidang kesehatan sosial muhammadiyah menyediakan bantuan sembako kepada umat non muslim, menerima hidup berdampingan dengan para umat lain dan menghargai kepercayaan umat lain.*

Penulis adalah Mahasiswa Magister Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur