Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Cermin Dibelah
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 12-10-2020 | 14:04 WIB
A-MUCHID-KORPRI5.png Honda-Batam

PKP Developer

DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

CERMIN dibelah adalah dua kata berasal dari pribahasa lama. Esai Akhir Zaman mengungkap-papar penggalan tengah pribahasa lama tersebut yakni, 'Buruk Rupa Cermin Dibelah'. Esai ini berupaya menelaah-cermati melalui pertanyaan: Mengapa cermin dibelah? Rupa siapa yang buruk?

Penggalan tengah dua dari empat kata, 'Cermin Dibelah' merefleksikan suasana haru-ungu, hiruk-pekak, remuk-redam, dan risau-resam perasaan dampak unjuk-prostes menolak 'pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang'.

Unjuk-protes menghasilkan berbagai kerusakan fisik, para tersangka, dan lainnya yang berafiliasi memudar-sirna atau boleh jadi hilangnya kohesi sosial sesama anak bangsa. Sungguh miris.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia pibahasa ini mempunyai makna, di antaranya: Seseorang yang menyalahkan keadaannya yang buruk kepada orang lain, padahal kesalahannya sendirilah yang menyebabkan keadaan tersebut.

Tidak mau mengakui kesalahan/kelemahan sendiri. Menyalahkan orang atau hal lain, walaupun sebenarnya dia sendiri yang salah, bodoh dan sebagainya.

Mengapresiasi realitas kekinian dampak unjuk-protes hampir di semua negeri, susah membantah jika terdapat persoalan dalam pengelolaan kekuasaan negara. Tiga karakter kekuasaan yang bertendensi negatif: cenderung monopoli, bulat utuh, dan dengan cermin pun enggan berbagi adalah sebuah aksiomatis.

Watak negatif kekuasaan dapat dikendalikan hanya jika kekuasaan eksekutif yang diwakali secara personal mendapatkan penyeimbang (checks and balances) kekuasaan legislatif yang diwakili oleh sebuah institusi (perwakilan partai yang melebur menjadi dewan).

Banyaknya jabatan rangkap yang disandang bersamaan (simultansi), seperti pengusaha, ketua parta sekaligus pejabat negara (menteri, dan lainnya) adalah pembenar karakter negatif kekuasaan tersebut.

Realitas menyatunya beberapa jabatan politik dalam satu tangan (personal) sekaligus menuju pada sistem oligarki. Realitas ke-oligarki-an ini yang sangat mendukung kelahiran berbagai regualasi termasuk Cipta Kerja.

Bersandar pada realitas itu pula sangat logis diterima aqal sehat jika berbagai pernyataan dus argumentasi penguasa dalam menyakapi unjuk-protes reflektif pada watak asli kekuasaan.

Menurut hemat Saya, keaslian wataknya minimal teridentifikasi pada tiga pernyataan yang selalu dikemukakan para pihak berkuasa.

Pertama, penolakan penyebab kerusuhan adalah bersumber dari informasi/berita hoak. Kedua, penolakan didalangi oleh para penunggang. Ketiga, penolakan oleh karena banyak pihak yang belum mengetahui isi regulasinya.

Menurut hemat penulis, dari ketiga pernyataan tersebut, berlajar dari sikap 'Cermin Debelah', yang dimaksud 'Buruk Rupa' sesungguhnya adalah keserakahan. Prilaku serakah menyebabkan penguasa lupa pada tiga perspektif hukum kausalitas demokrasi (pemilih, dan yang dipilih).

Pertama, perspektif semua warga selain penguasa adalah bodoh. Yang dimaksud dengan warga dalam wujud lain adalah para pemilih. Atau kalau seseorang disebut pemimpin, tentu warga adalah yang dipimpin.

Kalau yang memimpin pintar, cerdas atau beraqal sehat (berkualitas), logika demokrasi akan mengatakan yang dipimpim atau warga pasti pintar. Adagium pemilu, 'masyrakat yang cerdas akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas'. Kualifikasi pemimpin adalah ditentukan oleh para pemilihnya. Begitulah aksioma demokrasi pemilihan.

Kedua, lembaga kecerdasan berubah menjadi lembaga 'kedunguan'. Memformalkan wujud lembaga negara kecerdasan (intelijen) adalah pertanda watak kekuasaan yang tak terkontrol. Lembaga yang selalu bersifat rahasia di mana pun keberadaannya di dunia ini, tiba-tiba berubah wujud.

Terang-terangan mendeklarasi dengan menyebuat mengetahui aktor penolak regulasi melalui jubirnya jika benar adalah sebuah 'kelucuan dungu'. Konteks kelucuan ini khawatir bukan memunculkan cercaan, melainkan candaan atau bahkan tertawaan di kancah internasional.

Ketiga, atasan tak pernah salah (penguasa tak pernah salah). Idiom atasan tak pernah salah memiliki relevansi dengan pernyataan, 'perintah atasan'. Konteks perintah ini menjadi aktual manakala benturan antara para pengunjuk-protes dengan aparat di lapangan.

Kesan aparat di lapangan bentrok dengan pengunjuk-protes 'diadu' pada level akar rumput susah dibantah. Padahal 'logika nurani' selalu menuntun agar bawahan (aparat di lapangan) berani menolak jika perintah atasan 'melawan atau melanggar hukum'.

Logika ini akan bergeser hanya apabila kemungkinan terjadi dua hal. Pertama, ancaman pemecatan jabatan atau dipindahkan-tugaskan. Kedua, ada iming-iming atau janji materi yang menggiurkan.

Memaknai pribahasa, 'Buruk Rupa Cermin Dibelah', pijakan ketiga penjelasan sebelumnya adalah bagian integral pertanda akhir zaman, walaupun bukan sebuah keniscayaan. Sebab, logika nurani diyakini akan menuntun jika keserakahan dapat dikendalikan.

Percayalah para pihak penguasa jika warga tidak bodoh, intelijen adalah identik dengan kecerdasan, dan walaupun sedikit manusia pasti tak luput dari kesalahan, termasuk para pihak yang sedang berkuasa.

Maka, 'Elok Rupa, Elok Budi. Dengan Cermin Mau Berbagi'. Semoga. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.