Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Masalah Jam Kerja dan Lembur pada RUU Cipta Kerja
Oleh : Opini
Senin | 28-09-2020 | 14:41 WIB
omnibus-law-ciptaker_jpg211.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi buruh dan poster Omnibus Law. (Foto: Ist)

Oleh Abdul Razak

OMNIBUS Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang sapu jagat yang akan meringkas segala peraturan yang ada. Masyarakat pun meyakini bahwa RUU tersebut akan melindungi buruh dengan lebih baik, karena di dalamnya tidak ada penambahan jam kerja maupun lembur.

Dalam Berkas Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta kerja telah mencantumkan aturan baru dalam penetapan jam kerja di Indonesia. Menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, aturan yang diubah dengan sederhana ini justru memberikan fleksibilitas terutama bagi kaum ibu rumah tangga maupun kalangan milenial yang hendak bekerja.

Baik dalam undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maupun RUU Cipta Kerja, lamanya jam kerja tidak berubah yakni 8 jam dalam satu hari atau 40 jam dalam satu minggu. Tetapi dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah menambahkan kata 'paling lama'.

Menteri Ida Fauziyah mengatakan, dengan memaksimalkan jam kerja 8 jam dalam sehari, masyarakat yang ingin bekerja dengan lama waktu kurang dari 8 jam bisa tetap memperoleh pekerjaan. Ida mengatakan, skema tersebut banyak dicari oleh kalangan IRT dan milenial.

Ia mengungkapkan, banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang ingin bekerja tetapi hanya memiliki waktu 3 jam. Banyak sekali anak-anak milenial yang tidak mau bekerja dalam satu tempat dengan durasi 8 jam ini.

Dengan skema ini, nantinya pemerintah dapat memberikan ketetapan teknis terkait skema pengupahan dan perlindungan bagi masyarakat yang bekerja di bawah 8 jam.

Ida berharap, dengan aturan ini, populasi generasi milenial yang akan mendominasi Indonesia ini dapat diakomodasi dengan pekerjaan yang layak.

Pada kesempatan berbeda, Presiden RI Joko Widodo mengatakan akan memangkas jumlah jam kerja buruh. Pemangkasan ini telah tertuang dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dalam draf tersebut, tertulis bahwa pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja tersebut paling lama 8 jam sehari dan 40 jam dalam 1 minggu.

Waktu kerja tersebtu berbeda apabila dibandingkan dengan yang masih berlaku tersebut, waktu kerja buruh diatur dalam dua bentuk.

Pertama, sebanyak 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Kedua, sebanyak 8 jam sehari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

Kendati demikian, berdasarkan bahan penjelasan Kemenko Perekonomian, Omnibus Law memang akan mengatur skema upah per jam. Biasanya juga tidak dihapuskan. Kebijakan pengupahan masih tetap menggunakan sistem upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Pemberian upah per jam ini dapat diberikan untuk jenis pekerjaan tertentu, seperti konsultan part time maupun ekonomi digital.

RUU Cipta Kerja juga mengedepankan hak maupun perlindungan para pekerja. Pada Bagian waktu kerja, ditetapkan paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu, pekerjaan yang melebihi jam kerja akan diberikan upah lembur dan pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian bersama.

Rupanya, pengusaha juga menilai skema gaji per jam dalam RUU Cipta Kerja dapat memberi banyak dampak positif bagi pekerja. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Suryadi Samita mengatakan pekerja yang diupah dengan mekanisme per jam justru diuntungkan dengan dapat menikmati penghasilan lebih besar daripada bergantung terhadap upah minimum provinsi (UMP) yang selama ini berlaku.

Dirinya menilai, skema upah per jam justru saling diuntungkan antara pekerja dan pengusaha. Ia juga mencontohkan bagaimana penerapan skema gaji per jam ini berlaku di negara maju.

Para kaum pekerja juga diberu keleluasaan untuk bekerja di lebih banyak perusahaan dengan upah beragam dan waktu yang ditentukan secara mandiri oleh pelakunya.

Selain itu, Pengamat Ketenagakerjaan Hemasari Dharmabumi mengatakan, selama ini terdapat lebih dari 300 jenis upah minimum di Indonesia dengan nilai yang berbeda. Satu provinsi di Jawa Barat misalnya, memiliki 28 jenis upah minimum.

Tak hanya mengatur soal jenis upah minimum, RUU Cipta Kerja juga akan mengatur pemberlakuan upah minimum bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan tertentu.

Dengan begitu, RUU Cipta Kerja akan mengembalikan tujuan utama, yakni upah minimum sebagai jaring pengaman.

RUU Cipta Kerja menjamin keamanan dan fleksibilitas bagi para pekerja, tentu hal ini patut didukung demi akselerasi perkembangan perekonomian di Indonesia. *

Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini Jakarta