Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mendeteksi Manuver KKSB Jelang Otsus Papua Jilid 2
Oleh : Opini
Kamis | 24-09-2020 | 14:52 WIB
A-KKB-PAPUA.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi KKSB Papua. (Foto: Ist)

Oleh Rebecca Marian

JELANG otonomi khusus jilid 2, kewaspadaan di Papua makin ditingkatkan untuk berjaga-jaga dari serangan kelompok kriminal bersenjata. Mereka terus menuntut kemerdekaan dan mengajak masyarakat di Bumi Cendrawasih untuk membelot. Serta menolak program otonomi khusus dari pemerintah pusat.

Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) adalah oknum yang sering membuat kekacauan di Bumi Cendrawasih. Mereka tak segan untuk menakut-nakuti dengan senapan bahkan membunuh warga sipil yang tidak bersalah. KKSB berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka dan selalu bersembunyi dari kejaran aparat yang ingin menangkap mereka.

KKSB sangat diwaspadai oleh aparat karena mereka membuat kekacauan di mana-mana, bahkan telah memakan total 140 korban jiwa. September ini sudah ada beberapa peristiwa kriminal yang mereka lakukan. Selain warga sipil, mereka juga nekat menembak aparat yang sedang bertugas. Kepala Penerangan Kogabwilhan III menyatakan bahwa KKSB adalah teroris.

Jelang otonomi khusus jilid 2 yang akan berlaku tahun 2021, aparat makin menjaga keamanan Papua dari keganasan KKSB. Mereka bisa saja membuat teror yang lebih besar daripada sebelumnya, karena tidak setuju akan program otsus. Bagi KKSB, otsus adalah perwujudan dari pemerintah, oleh karena itu perpanjangannya harus digagalkan secepat mungkin.

Ketika ada pembangunan jembatan, jalan raya, atau infrastruktur lain di Papua yang merupakan program otsus, penjagaan selalu diperketat. Karena bukan tak mungkin ada anggota KKSB yang menyelinap dan ingin menggagalkan proyek tersebut. Padahal otsus bertujuan untuk kemajuan Papua, tapi mereka ingin menggagalkannya dan menembak seenaknya.

Peristiwa penembakan yang memakan korban jiwa disinyalir memang sengaja dilakukan oleh KKSB. Tujuannya agar menggagalkan perpanjangan otonomi khusus dan menarik perhatian dari media internasional. Mereka mencari simpati dari luar negeri, agar perbuatannya dimaklumi. Lantas berharap bahwa pemerintah pusat ditegur oleh presiden negara lain.

Padahal yang dilakukan oleh KKSB adalah playing victim. Ketika ada anggotanya ditangkap karena ingin menggagalkan progam otonomi khusus, pemerintah Indonesia malah dianggap melanggar hak azasi manusia oleh media luar negeri. Mereka sama sekali tak tahu bahwa penangkapan ini wajar karena KKSB termasuk teroris dan menghalangi suksesnya otonomi khusus.

KKSB merambah ke dunia maya dan berkampanye secara gerilya. Mereka sengaja membuat akun agar menyebarkan ajarannya dan mengajak masyarakat sipil untuk bergabung ke dalam Organisasi Papua Merdeka. Serta menggagalkan perpanjangan otsus tahun depan. Dunia maya dipilih karena mereka bisa membuat akun fake dan susah ditangkap daripada dunia nyata.

Polisi siber terus menelusuri akun-akun yang menolak perpanjangan otonomi khusus sekaligus ingin menangkap para anggota KKSB. Karena mereka terus meresahkan tak hanya di duna nyata tapi juga dunia maya. Juga membuat fitnah bahwa program otsus itu merugikan masyarakat Papua, bahkan menuduh pemerintah pusat telah menjajah Papua.

Masyarakat Papua diminta untuk terus meningkatkan kewaspadaan. Jika ada oknum yang mencurigakan, harap segera menelepon pihak berwajib. Bisa jadi ia adalah anggota KKSB yang menyamar dan ingin meneror, serta menggagalkan program otsus.

Warga negara Indonesia di wilayah lain juga bisa membantu dengan cara melapor kepada polisi siber, ketika ada akun media sosial yang mengajak untuk menolak otonomi khusus Papua. Mereka bisa terjerat Undang-Undang ITE. Jangan malah mem-follow akun tersebut dan jangan pula terpengaruh oleh cerita mereka yang playing victim.

Saat otonomi khusus jilid 2 akan diberlakukan di Papua, maka kita semua wajib mewaspadai kehadiran kelompok kriminal separatis bersenjata. Karena mereka selalu mengacau tak hanya di dunia nyata, tapi juga dunia maya. KKSB wajib diberantas secepat mungkin.*

Penulis adalah Mahasiswi Papua tinggal di Jakarta