Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pasca Pandemi dan Skenario Era Ramah Lingkungan
Oleh : Redaksi
Rabu | 15-07-2020 | 13:08 WIB
atap_panel-1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. (Foto: Kementerian ESDM)

PANDEMI COVID-19 telah menyebabkan kekacauan ekonomi dunia. Pasar saham global seperti Footsie, Dow Jones Industrial Average dan Nikkei semuanya telah mengalami penurunan besar sejak wabah dimulai pada 31 Desember.

Dow Jones bahkan jatuh ke jurang terdalam, minus 35% pada April 2020 (data Bloomberg, 27/4/2020). Di Indonesia, 6 juta pekerja dirumahkan dan terkena PHK (data Kadin:2020).

Meskipun akhir-akhir ini grafik tren kasus COVID-19 mulai menurun, kekhawatiran masih ada. Negara-negara Asia Timur, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan pun bersiap dengan gelombang kasus baru COVID-19 yang menunjukkan kurva tren baru.

Namun di akhir masa pandemi, -cepat atau lambat, akan terdapat suatu tatanan normal baru agar penyebaran pandemi tidak kian meluas, sementara ekonomi dapat berjalan kembali.

Pilihan Skenario Hijau?

Pasca pandemi setidaknya akan ada dua skenario stimulus potensial untuk pemulihan ekonomi yang terpuruk akibat dampak COVID-19.

Skenario pertama, produk domestik bruto (gross domestic product) akan dipompa sedemikian rupa agar ekonomi tumbuh lebih cepat. Dengan menstimulasi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor komoditas. Bersamaan dengan itu, industrialisasi akan bergerak dengan daya yang lebih kuat dari kondisi pra pandemi.

Kondisi lingkungan hidup yang sempat membaik di masa kemunculan COVID-19 mungkin akan kembali dipadati polusi. Emisi karbon dipredikasi akan naik ke udara, dan bahkan akan melonjak lebih tinggi dari sebelumnya. Inilah yang disebut fenomena 'revenge pollution'.

Kita dapat belajar bagaimana pemerintah berbagai dunia merespons krisis finansial 2008 dengan paket penyelamatan ekonomi melalui stimulus bernilai milyaran USD. Walhasil setelah itu, pada dekade terakhir ini emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emissions) kian meningkat.

Tiongkok adalah preseden yang nyata. Menanggapi krisis finansial global pada 2008, pemerintah negara itu meluncurkan paket stimulus 586 milyar USD yang berfokus pada proyek infrastruktur skala besar seperti pembangunan jalan tol, highway dan rel kereta api.

Namun dampak lingkungannya, tingkat emisi pun lantas melonjak. Memuncak dalam kabut asap yang terkenal dengan airpocalypse, yang terjadi di kota besar seperti Beijing pada musim dingin 2012 dan 2013.

Skenario kedua, kita bertolak dari preseden revenge pollution paska 2008. Pandemi memberi peluang, -untuk hal-hal yang terlalaikan sebelumnya, yaitu menjadi momen terbaik bagi perbaruan pembangunan dan memasukkan agenda hijau, seperti energi bersih.

Studi yang dirilis oleh para peneliti Oxford menemukan indikasi menarik untuk ini. Hasil penelitian menjumpai proyek-proyek hijau menciptakan lebih banyak pekerjaan, memberi pengembalian jangka pendek yang lebih tinggi, dan mengarah pada penghematan biaya peningkatan jangka panjang.

Konstruksi infrastruktur energi bersih sebagai contoh, telah menghasilkan pekerjaan dua kali lebih banyak dibandingkan proyek bahan bakar fosil.

Secara global, sumber utama emisi gas rumah kaca adalah listrik (31%), pertanian (11%), transportasi (15%), kehutanan (6%) dan manufaktur (12%). Produksi energi dari semua jenis menyumbang 72 persen dari semua emisi. Sektor energi menjadi faktor paling dominan penyebab emisi gas rumah kaca.

Karena kedepan kita pasti akan membutuhkan lebih banyak listrik, maka dibutuhkan proyek massal pembangkit listrik bertenaga surya, angin, dan biogas.

Kita juga memiliki kebutuhan infrastruktur ramah pengendara sepeda dan pejalan kaki di kota-kota, juga berbagai keperluan pengisian kendaraan listrik dan industri. Kita juga perlu membangun infastruktur koneksi jaringan internet broadband, karena sistem sekolah dan kerja daring akan semakin marak dilakukan.

Bulan April 2020, Para Menteri lingkungan hidup Uni Eropa telah meluncurkan 'The European Green Deal' sebagai inti dari proses pemulihan pasca COVID-19. Setidaknya 100 milyar Euro dimobilisasi selama periode 2021-2027 di wilayah yang paling terkena dampak untuk investasi dalam teknologi ramah lingkungan, mendekarbonisasi sektor energi, dan normal hijau baru lainnya.

Pihak swasta, dari perusahaan besar seperti IKEA, H&M dan Danone pun telah menandatangani komitmen mereka. Contracting parties memahami bahwa perang melawan perubahan iklim adalah inti dari kebijakan ekonomi baru Eropa, dengan penekanan pada energi terbarukan, emisi nol dan teknologi baru.

Peran Indonesia dan Arah Komitmen Hijau Pasca Pandemi

Dalam Paris Agreement 2015 negara-negara di dunia telah bersepakat untuk sama-sama bertanggungjawab dalam meredam dampak perubahan iklim, meskipun dengan porsi dan kemampuan yang berbeda.

Sebagai negara yang turut meratifikasi, Indonesia telah berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi atas tantangan perubahan iklim global. Hal mana dapat didorong melalui pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Komitmen Indonesia di bawah Perjanjian Paris yang tertera dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia mencakup dua skenario, yaitu: (CM1) 29% untuk upaya sendiri dan (CM2) 41% dengan bantuan internasional. Target tersebut akan diupayakan oleh Indonesia pemenuhannya hingga tahun 2030.

Pada tahun 2018, berdasarkan hasil inventarisasi, monitoring, pelaporan, dan verifikasi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional tahun 2017, Indonesia telah berhasil menurunkan emisi karbonnya sebesar 8,7% dari target CM1.

Meski telah ada kemajuan, namun hasil kontribusi itu apabila dibandingkan dengan skenario CM1 dan CM2 masih perlu usaha lebih besar untuk memenuhi target yang telah ditetapkan.

Berdasarkan perhitungan, maka kontribusi penurunan emisi secara nasional yang dicatat tahun 2016 adalah sebesar 8,7% dari target penurunan emisi sebesar 29% dari CM1. Kontribusi tersebut berasal dari sektor energi sebesar 3,28%; sektor industri dan penggunaan produk sebesar 0,23%; sektor kehutanan sebesar 4,71%; sektor pertanian 0,1%; dan sektor limbah sebesar 0,57%. Untuk sektor energi, penurunan 3,28% sejauh ini tentu belum melewati sepertiga dari target sebesar 11% (CM1).

Untuk itu Indonesia harus meningkatkan upaya pencapaiannnya. Mendorong industri bersih ialah salah satu upaya yang layak di tempuh oleh Indonesia pasca pandemi COVID-19 sekaligus untuk memenuhi komitmen kepada dunia.

Menuju Era Energi Bersih

Pada dasarnya terdapat tingkat produksi dan konsumsi yang sangat tinggi dan tidak diinginkan dari industri dan energi kotor. Sedangkan pada harga yang dibebankan untuk barang-barang tersebut tidak mencerminkan biaya sosial sebenarnya.

Salah satu intervensi yang mungkin adalah pajak, yang menaikkan harga barang dari kegiatan itu untuk menekan konsumsi. Pajak karbon (pigovian tax) adalah cara praktis untuk meminta konsumen dan produsen memperhitungkan biaya sosial dari meningkatkatnya GRK. Di sisi lain, pemerintah perlu mempromosikan industri yang berbasis energi bersih.

Kedua, selama tiga puluh tahun terakhir (carbon brief: 1985-2017) memperlihatkan batubara, minyak, dan gas bumi masih mendominasi dengan memiliki grafik yang meningkat sebagai sumber energi Indonesia.

Padahal negeri ini memiliki potensi energi bersih yang melimpah, seperti ratusan hotspot vulkanik potensial untuk panas bumi, ladang angin yang luas melewati katulistiwa, dan pancaran surya muncul sepanjang tahun di negara tropis.

Ketiga, secara komparatif, negara-negara yang lebih rendah emisi karbon perkapitanya dari Indonesia, seperti Afrika Selatan dan India telah memakai skema pajak karbon untuk meredam emisi.

Akan timbul pertanyaan mengapa Indonesia dengan emisi karbon lebih tinggi tidak memakai upaya itu?

Afrika Selatan sejak 1 Juni 2019 telah menerapkan pajak karbon senilai 8,34 USD per ton. Sementara India lebih awal lagi, sejak 2010 telah menerapkan pajak karbon nasional senilai 1,07 USD per ton untuk batubara yang diproduksi dan dimpor ke dalam negeri. Indonesia bisa memakai tarif dibawah harga karbon di pasar internasional, yang mana berkisar 5-40 USD per ton karbon.

Sebagai kesimpulan, dan belajar dan mengambil hikmah dari pandemi coronavirus, -untuk bangkit dari pemulihan krisis ekonomi, sudah waktunya kita gunakan sebagai kesempatan untuk mendesain ulang ekonomi berkelanjutan dan inklusif lewat energi bersih.

Sumber: mongabay.co.id
Editor: Yudha