Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Jin-Polong dan Teroris
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 06-07-2020 | 13:04 WIB
f2a01bf9-65bf-4ee5-b5e2-f501472574ec1.jpg Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

DR Muchid Albintani

ESAI akhir zaman berupaya mencermati tema milenial yang berpancang pada persoalan mistik. Ikhwal mistik yang terkenal dengan istilah "dunia lain" (dunia uka-uka), amat sangat menjadi populer belakangan ini.

Warga milenial tak terbantahkan memberikan porsi besar yang diekspresikan melalui siaran atau tayangan televisi beserta film yang berbau mistik. Mohon cermati dan telusuri medsos, media daring (youtube), dan siaran televisi yang berbau uka-uka menjadi terbanyak penggemarnya.

Menengok sejenak ke belakang dengan saksama, ternyata tidak hanya milenial, sebagai penganut muslim terbesar dunia serta dinilai religius, realitas aktual, kekinian dan kontekstual belum berimplikasi positif terhadap bangsa ini.

Justru yang mengedepan bangsa yang dinilai religius ini, cenderung terjebak ke dalam pusaran "khurafat" (sinkritisme) yang membudaya turun-temurun.

Produk buatan anak negeri: "Kalung Virus Anti Corona" sukar menyangkalnya untuk menolak efek "khurafat" tersebut. Sugesti kalung yang berubah menjadi jimat penangkal, produk buatan anak negeri ini selain diperdebatkan, yang tak nyaman adalah ketika berubah menjadi olok-olokan. Misalnya, tidak lagi kalung anti virus, melainkan "Kalung Anti Bego" menjadi trending di Twitter.

Dalam konteks ini yang amat penting menurut hemat saya adalah jika dalam kondisi masyarakat yang "sinkretis" tersebut, menyeruak istilah teroris (isme). Yang sangat menyakitkan justru belakangan pasca reformasi (terutama tujuh tahunan terakhir), istilah ini selalu saja tersemat (terkadang sengaja disematkan) kepada khusus umat mayoritas.

BACA: Radikalis-Serakah

Berlatar mencermati realitas inilah, esai akhir zaman menilai mendikusikan ikhwal istilah Jin-Polong menjadi relevan. Selama ini populer istilah Jin sudah menseduksi dalam realitas masyarakat di negeri ini sebagai makhluq gaib yang dapat diajak berkolaborasi.

Hanya saja istilah Polong yang jarang atau belum umum dikenal. Polong hanyalah asosiasi imajinasi mahkluq astral penghisap darah. Lebih konkritnya, Polong identik dengan Lintah Darat, rentenir, yang meminjamkan uang dengan berbunga-bunga yang dalam pepatah disebut 'bagai cekik darah'.

Esensi memaknai istilah Jin-Polong (pencekik daerah) adalah agar esai akhir zaman ini mengaitkannya dengan istilah teroris (me) yang juga belakangan ini marak di media massa (cemati berita, "santri dituduh calon teroris").

Esai ini berupaya menjelaskan istilah teroris-(me), oleh karena selalu dikait-kaitkan dengan penganut agama mayoritas di negeri ini. Bersandar pada karakter bangsa tersebut, menurut hemat saya, sangat mustahil jika teroris (me) berkaitan dengan agama mayoritas. Mengapa? Menurut Saya, minimal ada dua alasan yang menjadi pancang argumentasinya.

Pertama, Sinkretis-Hedonis. Karakter bangsa yang Sinkretis-Hedonis mustahil teroris (me) bagian yang terintegrasi dengan karakter bangsa ini. Silakan dicermati jejak sejarah, dan digitalnya jika memang ada.

Justru yang bukan mustahil pen-semat-an istilah teroris terhadap mayoritas adalah bagian desain para pemburu kekuasaan (anak negeri) yang berkolaborasi dengan kaum globalis.

Ikhwal yang ini tak dapat disangkal oleh karena sudah banyak referensi ilmiah yang mengkajinya. Yang paling anyar tentu saja terkait keberadaan organisasi Al-Qaeda dan NIIS (negara Islam Irak dan Syam/ISIS).

Sebaliknya justru yang banyak belum dikaji jika teroris versi karakter Sinkretis-Hedonis seputar mereka yang suka bekerja sama dengan Jin-Polong. Dendam, ambisi berkuasa [mengejar kekuasaan], ingin cepat kaya degan cara mudah adalah di antara pintu masuknya. Jadi mustahil teroris adalah produk karakter anak bangsa negeri ini.

Kedua, Muslim-Fobia. Teroris mempunyai hubungan signifikan dengan istilah Muslim-Fobia. Esensi makna terkait Muslim-Fobia adalah seorang muslim yang fobia dengan agama yang diyakini (dianutnya) terkait kebenarannya.

Orang yang ragu, minder, tak percaya diri untuk menonjolkan apalagi membela identitas sebagai seorang muslim inilah yang disebut dengan (adalah) Muslim-Fobia.

Fenomena Muslim-Fobia di negeri muslim terbesar dunia, tentu saja amat sangat mengkhawatirkan. Tanpa sadar atau tidak, karakter atau sikap Muslim-Fobia inilah yang menjadi bahan bakar munculnya teroris (me).

Apalagi lakon Muslim-Fobia dipraktikan oleh para penguasa yang juga seorang muslim. Yang tak kalah strategisnya justru Muslim-Fobia yang oleh di antaranya kalangan yang sedang berkuasa menjadi pintu masuknya bantuan asing.

Bantuan ini sudah dapat dipastikan untuk menghacurkan para teroris yang disematkan kepada "Muslim Kritis". Sebagai mayoritas dan terbesar di dunia, sangat ironis jika penguasa yang seorang muslim tersebut fobia terhadap agamanya.

Pertanyaannya: mungkinkan seorang muslim yang beriman adalah teroris? Atau justru terorisnya adalah seorang Muslim-Fobia? Tepuk dada tanya selera. ***


Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***