Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Haruskah Covid-19 Menunda Pembahasan RUU Ciptaker?
Oleh : Opini
Rabu | 15-04-2020 | 14:32 WIB

Oleh Jelita Chantiqa

BERBAGAI lembaga swadaya masyarakat menyuarakan penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) krusial oleh DPR RI. Meski masa sidang telah dibuka, DPR diharapkan fokus pada penanggulangan wabah covid-19 lebih dulu.

Suara LSM itu bersambut. Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mendukung penundaaan antara lain RUU Cipta Kerja yang berskema omnibus law. Pasalnya, pembahasannya memerlukan keterlibatan banyak pihak dan rumit. Ada 79 undang-undang yang hendak dikompilasi dengan 11 klaster substansi pembahasan.

"Khusus omnibus law Cipta Kerja, serikat pekerja sudah komplain. Mereka tidak hanya demonstrasi di jalanan. Mereka juga melakukan audiensi dan rapat dengar pendapat dengan DPR," ujar Saleh, di Jakarta, belum lama ini.

Bagaimanapun juga, ujar Saleh, jika pembahasannya dilanjutkan, dipastikan tidak efektif. Hal itu disebabkan rapat-rapat yang dilakukan akan lebih banyak dilaksanakan secara virtual.

Dengar pendapat dengan para pihak terkait juga dinilai akan sangat minim. Senada dengannya, Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta, mengatakan pembahasan omnibus law bisa dilanjutkan lebih maksimal setelah wabah mereda.

"Setelah ini bisa diatasi, tidak akan terlambat kita konsolidasikan kembali seluruh sumber daya bangsa ini untuk bangkit, membangun kembali, termasuk pembahasan rancangan berbagai macam undang-undang yang ada," paparnya.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan dalam masa persidangan III 2019-2020, DPR akan fokus pada isu-isu terkait dampak wabah covid-19 di berbagai sektor. DPR, menurut Puan, akan mengawasi berbagai persoalan yang timbul di masyarakat atas pandemi covid-19.

Meski begitu, tidak ada penundaan pembahasan legislasi. Aktivis Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) Asfi nawati menilai DPR tidak bisa optimal membahas omnibus law. Parlemen lebih baik memaksimalkan fungsi anggaran dan pengawasan secara transparan dengan menjamin realokasi anggaran untuk penanganan pandemi covid-19.

"Masyarakat sangat menunggu DPR merealisasikan rencana pemotongan gaji dan tunjangan anggota minimal sebesar 50% tanpa bergantung pada kebijakan fraksi," tegas anak Megawati Soekarnoputri ini.

Haruskah Ditunda?

Jika pertanyaan besarnya haruskah Covid-19 menyebabkan ditundanya pembahasan RUU Ciptaker atau RUU Omnibus Law? Jawabnya tidak! Karena Covid-19 tidak boleh menyebabkan terjadinya kekosongan hukum, pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan perekonomian yang semakin parah.

Mereka yang berkeberatan dengan penundaan pembahasan RUU Ciptaker saat ini, menurut penulis berarti kurang mengamati perkembangan kontemporer saat ini.

Setidaknya ada beberapa perkembangan terkini yang menyebabkan RUU Ciptaker ini perlu segera diselesaikan yaitu pertama, industri sepatu dan sepeda sudah melakukan PHK karyawan karena lesunya permintaan.

Hal ini dikemukakan Firman Bakrie yang juga Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia atau Aprisindo mengatakan, penutupan pabrik sepatu dan sepeda dimulai pada awal Juni 2020 karena minimnya permintaan.

Hampir separuh pabrikan sepatu di dalam negeri akan merumahkan tenaga kerjanya pada awal kuartal II/2020 sekitar 800.000 tenaga kerja.

Sementara itu, data Asosiasi Industri Persepedaan (AIPI) pada akhir kuartal I/2020, ada tiga pabrik yang menghentikan produksi dan memberhentikan karyawan sebanyak 1.000 orang.

Sedangkan, data Kementerian Ketenagakerjaan, hingga 1 April, total pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 2.311 orang dari 56 perusahaan di Indonesia, dan sebanyak 9.183 pekerja dirumahkan.

Kedua, industri properti dan perumahan mengalami masalah cash flow akibat Covid 19. Menurut Junaidi Abdillah yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia, saat ini masyarakat menahan daya beli untuk sementara waktu terimbas Coronavirus disease 2019 (Covid-19), menyebabkan arus kas (cash flow) terganggu.

Sementara, Ali Tranghanda yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch mengatakan, masalah cash flow terjadi karena suku bunga pinjaman masih tinggi di sejumlah Perbankan.

Berdasarkan temuan Indonesia Property Watch, pengembang kelas menengah mampu bertahan hingga 1 bulan sampai dengan 3 bulan. Adapun, pengembang kelas bawah lebih hanya mampu bertahan 1 bulan. Penyaluran kredit pemilikan rumah pada April hingga pengujung 2020 diproyeksi semakin melambat terdampak pandemi Covid-19.

Ketiga, industri baja dan manufaktur juga mengalami penurunan drastis. Ismail Mandry yang juga Wakil Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Association, pasar baja nasional berkurang sekitar 80%. Industri lain yang mengalami penyusutan pasar antara lain keramik, kaca lembaran, dan kimia dasar.

Sementara itu, berdasarkan data Purchasing Managers' Index (PMI), produktivitas sektor manufaktur Indonesia anjlok ke angka 45,3 pada Maret 2020, sehingga banyak pengusaha memilih untuk merumahkan karyawan.

Keempat, Denon Prawiratmadja, Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association mengatakan, maskapai Air Asia menghentikan operasi sementara untuk rute domestik sampai 21 April 2020 dan rute internasional sampai 17 April 2020.

Maskapai Trans Nusa menghentikan operasi sementara sampai 15 April, sedangkan Garuda Indonesia, Lion Air Grup dan Sriwijaya memangkas layanan penerbangannya. Hal ini menyebabkan terjadinya PHK, dan kebangkrutan industri hilir seperti bengkel pesawat, ground handling, agen perjalanan dan hotel.

Sementara itu, sebanyak 1.174 hotel per 1 April 2020 sudah melakukan PHK. Sedangkan, jasa transportasi umum seperti bis mengalami penurunan penumpang sampai 80%.

Bagaimanapun juga, menurut penulis, RUU Ciptaker tidak layak ditolak oleh buruh dan elemen BEM apakah BEM SI ataupun BEM Nusantara. Karena RUU ini adalah produk hukum termodern yang menjadi solusi tuntas dan komprehensif untuk mengatasi permasalahan krusial Indonesia saat ini.

Yaitu, mengurangi jumlah pengangguran yang semakin membengkak gara-gara Covid-19. Semoga mereka yang masih menolak menyadari secepatnya.*

Penulis adalah pemerhati masalah Indonesia