Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menelaah Cetak Biru Penanganan Radikalisme di Indonesia
Oleh : Opini
Kamis | 16-01-2020 | 14:52 WIB
radikalisme-blue-print.png Honda-Batam
Ilustrasi Garuda menerkam

Oleh Datuak Tjumano

PADA pemerintahan periode kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menegaskan, akan meningkatkan keseriusan menangani radikalisme di Indonesia. Jokowi tidak hanya menyoal penindakan, tapi juga berusaha mengubah persepsi masyarakat terhadap istilah radikalisme.

Sebab, gerakan radikalisme di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena mulai digiatkan di area universitas dan pada generasi muda serta wanita. Presiden Jokowi mengambil langkah tegas. Menurutnya, pemerintah akan melibatkan banyak pihak demi melakukan deradikalisasi.

Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.

Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal antara lain, intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain), fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya), dan revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Sementara, terorisme bukanlah persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat.

Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang.

Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan (A.M. Hendroprioyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam (Jakarta: Buku Kompas, 2009, hlm. 13).

Dalam kebijakan nasional, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme.

Dipimpin oleh seorang kepala, BNPT mempunyai tiga kebijakan bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi, bidang penindakan dan pembinaan kemampuan dan bidang kerjasama internasional. Dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menjalankan pendekatan holistik dari hulu ke hilir.

Penyelasaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan dan penindakan hukum (hard power) tetapi yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (soft power).

Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi pertama, kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai- nilai non-kekerasan. Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non-formal.

Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan.

Strategi kedua adalah deradikalisasi. Bidang deradikalisasi ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas.

Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.

Program deradikalisasi ini dapat dibentuk melalui pembuatan blueprint (cetak biru), agar dapat menjadi petunjuk bagi aparat penegak hukum untuk mencium pergerakan teroris sebelum melakukan kejahatannya. Fokus dari blueprint ini dititikberatkan pada upaya pencegahan, penegakan hukum, dan kerja sama internasional.

Upaya penceganan meliputi upaya antisipasi dari pola pikir radikal masyarakat melalui tindakan kekerasan. Sementara, penegakan hukum, diharapkan secara tegas dapat diterapkan guna memberi efek jera bagi pelanggar.

Setelah penegakan hukum terlaksana, kemudian memfokuskan kerjasama internasional sebagai perhatian bersama. Sebab, perkembangan kelompok terorisme di dunia telah berkembang dan merambah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.*

Penulis adalah pemantau isu terorisme, radikalisme, separatisme dan intelijen