Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Kejanggalan Kasus OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan
Oleh : Opini
Rabu | 15-01-2020 | 14:41 WIB
Wahyu-Setiawan.jpg Honda-Batam
Komisioner KPU Wahyu Setiawan. (Foto: Liputan6)

Oleh Ahmad Pahlevi

BEREDARNYA Surat Perintah Penyelidikan (Sprint Lidik) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Komisioner KPU Wahyu setiawan penuh kejanggalan.

Publik menduga bahwa sprint tersebut sengaja dikeluarkan KPK untuk menargetkan sasaran tertentu. KPK diharapkan tidak melakukan manuver politik dalam proses penegakkan hukum karena akan menggerus kepercayaan publik.

Karyono Wibowo selaku Pengamat politik dari Indonesian Publik Institute (IPI), meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memberikan klarifikasi perihal beredarnya surat perintah penyelidikan (Sprin Lidik) OTT terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait kasus suap yang berkenaan dengan pengurusan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR RI dari juga Fraksi PDI-Perjuangan.

Sprin.lidik yang dimaksud Karyono terkait OTT Wahyu Setiawan ini memiliki nomor 146/01/12/2019 serta telah ditandatangani pada tanggal 20 Desember tahun 2010 oleh Agus Raharjo.

Sprin.lidik itu ditengarai ditujukan kepada nama-nama penyidik KPK. Padahal, pada saat yang bersamaan komisioner dan Dewas KPK periode 2019-2023 resmi dilantik oleh Presiden Jokowi.

Karyono menilai dirinya membutuhkan klarifikasi terkait sprin.lidik OTT terhadap komisioner KPU tersebut. Dia menganggap surat yang tertanggal 20 Desember dan di tandatangani ketua KPK Agus Raharjo, layak dicurigai karena ada upaya untuk menghindari izin Dewas KPK.

Jika sprin.lidik KPK yang telah beredar itu benar adanya, maka hal tersebut bisa menimbulkan persepsi negatif bagi lembaga KPK. Yakni, Publik akan menyimpulkan seolah-olah ada target lain di balik upaya penegakan hukum itu.

Karyono menambahkan, beredarnya surat yang serupa dengan Sprin lidik dari institusi KPK terkait kasus suap komisioner KPU yang tersebar menambah daftar peristiwa dugaan bocornya Sprin lidik yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Hal ini tentunya bisa menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi KPK sendiri.

Di sisi lain sejumlah kejanggalan Penanganan Perkara KPU juga tercium. Beberapa hal lain seperti Sprint Lidik masih dengan Pimpinan lama, belum diperbarui dengan Pimpinan yang baru, selain itu penanggalan surat perintah yang ditulis tangan perlu dipertanyakan perihal keabsahannya.

Selain itu, tindakan terkait penyegelan ruangan dan lokasi dilakukan pada saat masih dalam penyelidikan.

Kejanggalan lainnya adalah Penyelidik tidak berkenan menunjukkan dengan jelas surat perintah tugas maupun penyelidikan kepada pihak-pihak yang mereka datangi. KPK juga dianggap memainkan opini di media guna menutupi kesalahan prosedur, ketidakcukupan alat bukti, dan sikap arogansi penyelidik KPK.

Berkenaan dengan sejumlah peristiwa penetapan sejumlah tersangka korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan bersamaan dengan momentum pertarungan politik, dimana KPK telah menetapkan calon kepala daerah sebagai tersangka tak lama setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPUD setempat.

Ditambah lagi kasus OTT terhadap seseorang kader partai di tengah momentum agenda besar partai politik tertentu yang dilakukan secara berkali-kali dianggap mengundang pertanyaan publik.

Karena hal ini seolah-olah sudah dijadikan pola oleh lembaga anti rasuah di Indonesia. Kesimpulannya, terdapat dugaan bahwa selain melakukan penegakan hukum, KPK juga dinilai melangsungkan manuver politik dengan cara mengkapitalisasi kasus korupsi.

Kendati demikian, kasus OTT komisioner KPU ini memang wajib diproses karena sudah tersedia minimal dua alat bukti. Karyono mengutarakan bahwa upaya penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dan pemberantasan korupsi harus dilaksanakan.

Namun, sebagai lembaga penegak hukum sepantasnya KPK tak boleh melakukan manuver seperti halnya yang dilakukan partai politik. Dia juga menegaskan agar KPK jangan sampai cacat prosedur atau cacat afministrasi.

Sementara itu, pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta turut berkomentas. Pihaknya menganggap jika perlu ada evaluasi administrasi di KPK terutama jika Surat Perintah Penyelidikan KPK yang berkenaan dengan OTT komisioner KPU itu benar adanya. Pasalnya, administrasi semacam itu bisa dianggap mencari celah untuk meluluskan tujuan tertentu.

Menurutnya, pemberantasan korupsi harus terapkan dan siapapun yang terlibat korupsi harus ditindak secara tegas tanpa kenal kompromi. Namun dalam tindakannya KPK perlu juga memperhatikan aturan yang berlaku termasuk harus mentaati segala prosedur dan administrasinya.

Ia menambahkan, jangan sampai upaya pemberantasan rasuah ini mengalami intervensi karena ada ketidaktertiban administrasi. Jika hal ini terjadi, maka akan bisa dilaksanakan penggugatan melalui praperadilan yang dampaknya kontraproduktif bagi pihak KPK.

Bagi lembaga anti rasuah layaknya sistem yang konstruktif. Bekerja dengan optimal dan mampu bersinergi untuk negeri. Sehingga janganlah menodai kepercayaan publik. Kecacatan prosedur dan administrasi hendaknya harus dihindari.

Mengingat, KPK memiliki wewenang yang cukup mumpuni. Maka, berjalanlah sesuai koridor hukum dan bangun negeri agar terbebas dari korupsi.*

Penulis adalah pengamat sosial politik