Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Catatan Awal Tahun Bidang Pertanian, Pembangunan Kita Jangan Melupakan Petani
Oleh : Redaksi
Minggu | 05-01-2020 | 15:04 WIB

Oleh Dr Fadli Zon MSc

TAHUN 2019 baru saja berlalu. Kita kini sudah menapaki tahun baru. Memasuki tahun 2020, kita tentu berharap agar ada perubahan signifikan dalam sejumlah hal, terutama terkait perbaikan nasib petani, nelayan, dan peternak kita. Bagaimanapun, sepertiga penduduk kita masih bekerja dan hidup dari sektor pertanian.

Sayangnya, meski jumlah petani kita lebih dari 35 juta, sepanjang 2019 lalu yang dikedepankan Pemerintah justru bukanlah isu-isu petani dan pertanian, melainkan malah ekonomi kreatif, 'unicorn', 'decacorn', industri 4.0, dan sejenisnya. Kelihatan sekali petani dan pertanian masih terpinggirkan, bahkan di level isu sekalipun.

Ironisnya, meski di satu sisi pemerintah gemar menggembar-gemborkan isu 'ekonomi kreatif', pada 2019 lalu kita membaca dua orang petani di Aceh yang secara kreatif telah mengembangkan benih sendiri bagi komunitasnya, alih-alih mendapatkan perlindungan dan penghargaan, malah telah dikriminalisasi.

Keduanya, Tengku Munirwan dan Gumarni, sebenarnya bukanlah petani biasa. Gumarni adalah koordinator Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Aceh, sementara Munirwan adalah ketua AB2TI Aceh Utara. Keduanya dijadikan tersangka dan ditahan pada Juli 2019 lalu. Meskipun belakangan Polisi mengabulkan permohonan penangguhan penahanan bagi keduanya. Tak ada yang lebih ironis dari negeri agraris yang mengkriminalisasi petaninya sendiri.

Sektor pertanian kita memang membutuhkan perbaikan segera. Sebab, sudah lama pertumbuhan sektor Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian posisinya selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, dan kecenderungan tersebut tak berubah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pertumbuhan sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan di era Jokowi berturut-turut adalah 3,75% (2015), 3,37% (2016), 3,87% (2017), dan 3,91% (2018). Padahal, di era pemerintahan Presiden SBY, sektor pertanian bisa tumbuh di atas angka 4 persen. Pada 2014, misalnya, angka pertumbuhan sektor pertanian masih 4,24%.

Hal yang sama juga terjadi pada Nilai Tukar Petani (NTP). Pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi kemarin, baru pada 2018 posisi NTP kita bisa lebih baik dibanding tahun 2014. Artinya, selama tiga tahun berturut-turut, sejak 2015 hingga 2017, posisi NTP kita lebih buruk dari 2014. Sebagai catatan, pada 2014 NTP kita 102,03. Namun, sesudahnya secara berturut-turut NTP kita turun di angka 101,59 (2015), 101,65 (2016), dan 101,27 (2017). Baru pada 2018 angkanya melebihi NTP tahun 2014, yaitu 102,39. Untuk tahun ini saya belum mendapatkan angkanya.

Hal berikutnya yang jadi catatan saya adalah terus melonjaknya impor hasil pertanian kita. Saat ini nilai impor hasil pertanian jauh lebih besar dibanding ekspor. Impor kita terus meningkat dalam komoditas-komoditas seperti ikan, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Kita memang masih surplus dalam beberapa jenis komoditas, seperti biji kopi, teh, rempah-rempah, tembakau, biji coklat, dan udang. Tetapi, tetap saja ada impor pada komoditas-komoditas tersebut. Sehingga, secara keseluruhan defisit kita dalam hal produk hasil pertanian makin membesar.

Situasi ini saya kira harus segera disikapi. Apalagi, salah satu komoditas unggulan kita, kopi, produksinya cenderung stagnan selama 15 tahun terakhir. Pada 2017 lalu produksinya bahkan lebih rendah dibanding tahun 2002. Begitu juga dengan produksi kakao. Padahal, kopi dan coklat adalah komoditas yang permintaan domestik maupun luar negerinya sangat besar. Kita saat ini tengah mengalami 'booming' bisnis kafe.

Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan sektor pertanian dan perbaikan kesejahteraan petani adalah reforma agraria. Lima tahun lalu Pemerintah menjanjikan akan mendistribusikan 9 juta hektare lahan bagi petani. Sayangnya, agenda tersebut macet. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sesudah lima tahun berlalu jumlah tanah yang berhasil didistribusikan ke masyarakat ternyata nol hektare. Data ini telah dikonfirmasi oleh pemerintah sendiri. Sungguh ironis.

Jadi, agenda bagi-bagi sertifikat oleh Presiden dalam dua tahun terakhir terbukti tidak ada kaitannya dengan agenda reforma agraria. Itu bagian dari Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria) biasa. Dan sebagaimana yang sering saya sampaikan, program sertifikasi dan legalisasi tanah melalui Prona ini telah ada sejak tahun 1981. Prona bukanlah reforma agraria. Jadi, tidak pantas Pemerintah mengklaim program bagi-bagi sertifikat seperti yang kemarin dilakukan sebagai bentuk reforma agraria.

Selain itu, kisruh mengenai 20 ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang terancam membusuk dan potensial merugikan negara hingga Rp167 miliar, juga perlu jadi catatan penting. Hingga 2019, ternyata manajemen pangan dan juga data pangan kita masih saja bermasalah. Ini seharusnya segera dibenahi agar tak terulang kembali di tahun 2020.

Masih terjadinya kelangkaan jagung pakan ayam, yang berlangsung terutama sejak 2017, juga menjadi catatan buruk bagi manajemen pangan kita. Surplus jagung akhir Desember 2019 lalu diperkirakan hanya 701,5 ribu ton, padahal rata-rata kebutuhan hingga dua bulan ke depan, Februari 2020, misalnya, mencapai 1,2 juta ton.

Kita tahu, sejak 2017 Pemerintah telah menyetop impor jagung untuk industri pakan ternak. Selain itu, Pemerintah juga telah menyetop impor gandum sebagai substitusi jagung sejak 2018 lalu. Sehingga, menghadapi defisit jagung ini Pemerintah jadi tidak punya solusi. Kalau nanti harga ayam dan telur kembali meroket, baru Pemerintah biasanya bereaksi. Saya kira tata kelola pangan yang tambal sulam semacam ini juga harus segera disudahi. Horison pemikiran saat merumuskan kebijakan pangan mestinya mempertimbangkan berbagai aspek, bukan hanya berangkat dari satu sudut pandang saja.

Sekali lagi, secara demografis kita masih negara agraris. Namun sayang, petani, nelayan, dan peternak kita masih belum menjadi warga negara utama di negeri ini. Padahal, sebagai negara agraris orientasi pembangunan kita mestinya adalah petani. Kemakmuran petani seharusnya jadi fokus dan tujuan.

Sebelum pemerintah bicara mengenai revolusi industri 4.0, 'unicorn', atau bisnis, 'start up', mereka seharusnya terlebih dahulu bicara mengenai petani. Jangan sampai negara agraris ini melupakan petaninya sendiri!!!

Penulis adalah Ketua Umum DPN HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra