Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

5 Tuntutan Rumah Cemara dalam Penanggulangan HIV-AIDS
Oleh : Redaksi
Selasa | 03-12-2019 | 08:28 WIB
hiv-aids14.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Bandung - Direktur Eksekutif Rumah Cemara Aditia Taslim, mengungkapkan permasalahan yang sedang dihadapi orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang memperoleh pengobatan antiretroviral (ARV) tidak hanya masalah penanganan kesehatan namun ada faktor-faktor lain.

"Faktor-faktor seperti peraturan dan undang-undang yang masih bersifat menghukum dan mengkriminalisasi, komitmen dan kemauan politik yang sangat lemah menyebabkan tidak adanya pemimpin negara yang berani mengambil sebuah sikap, stigma dan diskriminasi yang masih sangat tinggi di lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan bahkan di layanan kesehatan sekalipun," ujarnya.

Tanpa adanya perubahan secara dramatis, Indonesia akan gagal menanggulangi HIV-AIDS. Untuk itu, Rumah Cemara menuntut:

1. Untuk mengatasi hambatan struktural
Revisi peraturan dan UU yang memidanakan (mengkriminalisasi) dan menghambat program penanggulangan HIV-AIDS, termasuk peraturan-peraturan daerah yang tidak konsisten dengan komitmen Indonesia dalam pemenuhan hak asasi manusia.

Tunjukkan komitmen dan kemauan politik. Tanpa adanya pemimpin negara yang berani secara terbuka menyatakan dukungan penuh, pelaksanaan program HIV akan tetap menemui banyak hambatan.

Lindungi ODHA dari stigma dan diskriminasi dengan membentuk mekanisme perlindungan yang dijamin oleh negara.

2. Laksanakan Program Test and Treat secara menyeluruh untuk memastikan bahwa seluruh ODHA yang mengetahui statusnya langsung mendapatkan pengobatan ARV.

3. Untuk persoalan Obat ARV
Turunkan harga obat ARV. Obat ARV yang dijual di Indonesia oleh PT Kimia Farma dibanderol dengan harga sampai 2,5 kali lipat dari harga pasar. Penurunan harga obat dapat mendorong jumlah ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV tanpa harus menambah beban biaya yang dikeluarkan oleh negara.

Segera daftarkan obat ARV terbaru sesuai rekomendasi WHO. Salah satu obat ARV terbaru, Dolutegravir (DTG), dinilai memiliki banyak keuntungan. Selain harga yang lebih murah, DTG juga memiliki tingkat efektivitas yang tinggi sehingga dapat menekan jumlah virus HIV dengan waktu yang lebih cepat, lebih dapat ditoleransi dengan efek samping yang lebih sedikit atau bahkan ringan, dosis satu kali sehari sehingga dapat menurunkan resiko lupa, memiliki lebih sedikit interaksi dengan obat lain sehingga aman jika digunakan bersamaan dengan obat lain, serta tingkat resistensi yang rendah membuat jenis obat ini menjadi lebih efektif untuk penggunaan jangka panjang.

Sediakan obat ARV untuk anak. Saat ini anak-anak yang hidup dengan HIV di Indonesia tidak memiliki akses terhadap obat ARV khusus anak. Penggunaan obat dewasa yang dosisnya disesuaikan memiliki resiko atas ketidakakuratan dosis serta kesulitan dalam pemberian obat. Hal ini dapat berisiko pada resistensi obat ARV.

4. Penuhi komitmen Universal Health Coverage.
Indonesia baru saja menandatangani komitmen bersama negara-negara anggota PBB untuk Universal Health Coverage (UHC). UHC harus mencakup pelayanan kesehatan HIV termasuk diagnosis, tes penyerta, pengobatan dan alat-alat pencegahan. Selain itu, negara harus mendahulukan komunitas yang kerap termarginalkan demi pemenuhan prinsip UHC, yaitu to leave no one behind dan tanpa membebani biaya tambahan.

5. Penuhi komitmen Deklarasi Paris 1994 - Greater Involvement of People Living with HIV (GIPA).

GIPA menuntut negara untuk melibatkan ODHA dan populasi yang menjadi kunci keberhasilan program penanggulangan AIDS secara bermakna. Caranya adalah dengan meningkatkan kapasitas dan koordinasi organisasi juga jaringan komunitas ini secara penuh dalam respons terhadap persoalan HIV-AIDS di seluruh tingkatan. Hal ini akan memastikan terciptanya lingkungan politik, hukum, dan sosial yang mendukung.

Secara spesifik, investasi negara untuk GIPA yaitu agar setidaknya 30 persen kegiatan program penanggulangan AIDS dilaksanakan komunitas ODHA dan populasi kunci serta 6 persen dari seluruh anggarannya ditujukan untuk advokasi (Paragarf 60 [d] Deklarasi Politik HIV-AIDS 2016).

Secara umum, GIPA juga berupa pelibatan komunitas ini dalam pengambilan keputusan, penghapusan kebijakan dan aturan yang merugikan, pelibatan mereka dalam perancangan kebijakan-kebijakan baru, serta pengakuan dan penggunaan data yang dimiliki komunitas ini sebagai referensi untuk pengambilan keputusan.

Gerakan global HIV-AIDS diawali pada 1983 dengan sebuah manifesto yang dikenal sebagai The Denver Principles.

Di dalamnya ada sebuah prinsip harus diingat sampai sekarang yakni, "Bahwa kami mengutuk keras pelabelan terhadap kami sebagai korban, sebuah kata yang mengartikan kekalahan, dan kami bukan hanya sekadar pasien, sesuatu yang berarti pasif, ketidakberdayaan, dan ketergantungan terhadap orang lain. Kami adalah orang dengan HIV-AIDS".

Editor: Yudha