Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Popularitas Jahe dalam Mencegah Kanker
Oleh : Opini
Kamis | 17-10-2019 | 12:40 WIB
zulfikar-opini-jahe.jpg Honda-Batam
Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Tingkat kreativitas dan rasa ingin tahu masyarakat Indonesia memang sangat tinggi. Salah satunya dalam pemanfaatan tanaman yang digunakan untuk pengobatan.

Baru-baru ini, tiga murid SMA asal Palangkaraya, Kalimantan Tengah memenangkan perlombaan inovasi tingkat dunia di Korea Selatan yang bertajuk World Invention Olympic (WICO). Ketiga murid tersebut menjadi juara, setelah penelitian mereka mengenai tanaman kayu Bajakah yang bisa mengobati penyakit kanker berhasil merebut simpati juri.

Tentu saja hal tersebut sangat membanggakan Indonesia, sekaligus menjadi angin segar bagi dunia medis, pasalnya sampai saat sebelum diketahui manfaat dari kayu Bajakah. Kanker adalah penyakit yang bisa dibilang penyakit mematikan, dan tidak memiliki obat. Sehingga hampir bisa dipastikan para pengidap penyakit tersebut akan mengalami kematian karena tidak bisa disembuhkan.

Di Indonesia, tidak hanya kayu Bajakah yang bisa dimanfaatkan sebagai obat. Banyak tanaman biofarmaka lainnya yang lebih familiar dan tidak kalah manfaatnya bagi kesehatan. Di antaranya adalah tanaman biofarmaka kelompok rimpang dan tanaman biofarmaka kelompok bukan rimpang.

Tanaman biofarmaka kelompok rimpang terdiri atas jahe, laos, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci, dan dringo. Sedangkan tanaman biofarmaka kelompok bukan rimpang terdiri atas kapulaga, mengkudu, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto, dan lidah buaya.

Jahe merupakan tanaman biofarmaka kelompok rimpang yang memiliki luas panen paling tinggi pada tahun 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas panen jahe mencapai 102.050.271 meter persegi.

Meskipun memiliki luas panen paling besar, jahe mengalami penurunan luas panen dari tahun 2017 yang mencapai 105.560.126 meter persegi. Atau menurun sebesar 3,32% dari tahun 2017.

Dengan menurunnya luas panen jahe pada tahun 2018, maka jumlah produksi jahe juga ikut mengalami penurunan. Di mana pada tahun 2017 produksi jahe mencapai 216.586.662 Kg menurun 4,24% menjadi 207.411.867 kg pada tahun 2018.

Penurunan produksi jahe tersebut berdampak pada volume jahe yang diimpor dari luar negeri lebih besar, jika dibandingkan dengan volume jahe yang diekspor pada tahun 2018. Di mana volume jahe yang diimpor pada tahun 2018 mencapai 3.886.091 Kg, sedangkan volume jahe yang diekspor pada tahun 2018 mencapai 3.203.117 Kg.

Tiga provinsi di Pulau Jawa yaitu, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat masih menjadi sentra produksi di Indonesia. Tercatat pada tahun 2018 luas panen jahe di Jawa Timur mencapai 49.094.981 meter persegi dengan produksi mencapai 77.241.049 kg, luas panen di Jawa Tengah mencapai 18.424.142 meter persegi dengan produksi mencapai 39.198.453 Kg, dan luas panen di Jawa Barat mencapai 10.849.087 meter persegi dengan produksi mencapai 26.966.783 Kg.

Namun jika dilihat lebih jauh, ada beberapa provinsi di luar Jawa yang memiliki potensi menjadi sentra produksi jahe. Hal tersebut dilihat dari produktivitasnya. Provinsi tersebut antara lain adalah Nusa Tenggara Barat dengan produktivitas mencapai 4,49 kg per meter persegi, Sulawesi Barat dengan produktivitas mencapai 6,52 kg per meter persegi, dan Maluku Utara dengan produktivitas mencapai 6,52 Kg per meter persegi.

Mengapa kita perlu memperhatikan hasil produksi jahe di Indonesia? Karena kandungan dari jahe tidak bisa diremehkan begitu saja. Jahe mengandung gingerol dan phytonutrient. Dimana gingerol dapat mencegah pertumbuhan sel kanker usus besar.

Selain itu, gingerol juga dapat mencegah penyebaran dan mengurangi tingkat keparahan sel tumor. Hal ini saling melengkapi dengan manfaat kayu bajakah dimana sebagai pengobatan penyakit kanker.

Namun ada pepatah yang berbunyi bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Kita sebagai masyarakat Indonesia yang telah dianugerahi nikmat berupa kesuburan tanah, sehingga bermacam-macam tanaman biofarmaka dapat tumbuh di tanah kita seharusnya menyadari hal itu, dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Pemerintah, khususnya kementerian pertanian dan kementerian kesehatan juga harus lebih berfokus untuk meningkatkan nilai tambah dari jahe sebagai pencegah kanker. Sehingga, Indonesia tidak hanya mengekspor bahan baku saja berupa jahe mentah ke luar negeri dengan nilai tambah yang kecil.

Selain itu, penelitian lebih lanjut tentang jahe juga bisa berdampak bagi semua khalayak. Baik di dalam maupun di luar negeri. Mengingat jumlah kayu bajakah yang tidak sebanyak jahe sebagai tanaman budidaya. Gerakan minum jahe hangat setiap pagi juga perlu digalakkan untuk memupuk rasa cinta akan kesehatan.

Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.