Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

An Nadzir, Naqshabandiyah, Al Muhdlor dan Syattariyah Laksanakan Shalat Id Hari Ini
Oleh : Redaksi
Senin | 03-06-2019 | 13:16 WIB
tarekat_naqsabandiyah.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Pengikut Jamaah Tarekat Naqshabandiyah Surau Baitul Makmur, Pasar Baru, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat laksanakan Shalat Id 1440 H

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Empat jamaah tarekat di tiga daerah di Indonesia hari ini menggelar Sholat Idul Fiitri 1440 H. Meraka adalah Jamaah An Nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan, Tarekat Naqshabandiyah di Padang, Suamtera Barat,Jamaah Al Muhdlor, Tulunganggung, Jawa Timur, serta Tarekat Syattariyah di Aceh

 

 

Senin pagi ini, sedikitnya 100 orang jamaah An-Nadzir berkumpul di perkampungan Mukmin An-Nadzir di Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bonto Marannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sekumpulan jamaah ini melakukan shalat Idul Fitri 1440 Hijriah.

"Shalat Id ini dilakukan setelah penetapan 1 Syawal yang jatuh hari ini setelah perhitungan memantau bulan dan tanda-tanda alam," kata Ketua Dewan Pengawas dan Penanggung Jawab Pendidikan dan Pembangunan Jamaah An-Nadzir Gowa, Ustaz M Samiruddin Pademmui seusai shalat Idul Fitri di Kabupaten Gowa, Sulsel, Senin (3/6/2019).

Menurut dia, penetapan 1 Syawal itu dengan melihat bulan purnama pada penanggalan syamsiah 14, 15 dan 16. Lalu menghitung mundur sebelum tiga hari terakhir bulan Sya'ban.

Pada saat itu mengamati terbitnya fajar siddiq. Selain itu, juga dapat mengamati dengan melihat tanda-tanda alam lainnya seperti puncak air laut pasang atau pasang konda atau arah angin bertiup.

Seusai shalat Subuh, jamaah An-Nadzir sudah berbondong-bondong ke lokasi shalat Id dengan menggunakan jubah khas yang didominasi warna hitam. Jamaah laki-laki menggunakan sorban dan umumnya berambut warna kecoklatan yang menjadi ciri khas jamaah ini.

Sedangkan jamaah perempuan, menggunakan gamis hitam dan mengenakan burka untuk menutupi wajahnya. Meski jauh dari kesan meriah karena jumlah jamaahnya cukup terbatas, tidak seperti jamaah pada hari raya pada umumnya, namun kekhusyuan jamaah tetap terlihat.

Setelah melakukan shalat Idul Fitri, khatib membaca khutbah shalat Idul Fitri yang mengusung tema Idul Fitri mengembalikan manusia kembali suci. "Setelah berpuasa sebulan lamanya dan memperbanyak beribadah shalat lail, tibalah di hari kemenangan ini," katanya.

Seusai membaca khutbah, Ustaz Samiruddin menutup dengan doa yang diaminkan oleh jamaah An-Nadzir. Kemudian saling bersalaman sebagai tanda saling memaafkan kesalahan dan kekhilafan masing-masing.

Tarekat Naqshabandiyah
Sementara itu, sekitar 100 pengikut Jamaah Tarekat Naqshabandiyah Surau Baitul Makmur, Pasar Baru, Kecamatan Pauh, Padang telah berlebaran. Ditandai dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri 1440 Hijriah pada Senin (3/6)/2019 pagi.

Pelaksanaan Shalat Idul Fitri di Surau Baitul Makmur yang berlokasi 15 kilometer dari pusat Kota Padang dimulai sejak pukul 08.00 WIB berlangsung dengan khidmat dan khusyuk diawali dengan membaca lafaz takbir oleh seluruh jamaah.

Namun ada yang berbeda dalam pelaksanaan Shalat Idul Fitri. Usai shalat biasanya langsung dilanjutkan dengan khutbah, tetapi jamaah Naqshabandiyah melanjutkannya dengan kembali bertakbir dan membaca doa bersama sekitar 30 menit.

Setelah itu, dilanjutkan dengan pembacaan khutbah Idul Fitri oleh mursyid (pimpinan) Jamaah Tarekat Naqshabandiyah Surau Baitul Makmur, Syafri Malin Mudo.

Khutbah dibacakan dalam bahasa Arab yang didahului oleh kumandang adzan oleh salah seorang jamaah. Saat membaca khutbah, khatib berdiri sambil memegang tongkat kayu dan berpakaian serba putih dan mengenakan sorban sembari memegang sebuah buku yang merupakan materi khutbah.

Sebagian besar pengikut jamaah didominasi oleh bapak-bapak ibu-ibu yang telah berusia lanjut. Menurut mursyid Jamaah Tarekat Naqshabandiyah Surau Baitul Makmur, Syafri Malin Mudo, 1 Syawal 1440 Hijriah jatuh pada Senin, 3 Juni 2019. "Hal itu berdasarkan pada perhitungan metode hisab Munjid serta rukyatul hilal (melihat bulan) yang digunakan dalam menentukan awal bulan," kata dia.

Menurut dia, metode hisab munjid yang digunakan Jamaah tarekat Naqshabandiyah untuk menentukan awal bulan berasal dari Makkah yang dikarang oleh ulama setempat. Selain itu dalam melaksanakan rukyatul hilal (melihat bulan) dilakukan secara langsung pada tanggal 8, 15, 22 dan 30 Syaban.

Ia mengatakan walaupun berbeda pelaksanaan Idul Fitri dengan pemerintah pihaknya tidak menganggap ada persoalan. "Pemerintah memiliki dasar dalam penetapan Idul Fitri, kami juga punya dasar yang mengacu pada Alquran dan Hadis," lanjut dia.

Ia menyebutkan di Padang terdapat puluhan masjid dan mushala yang menjadi pusat peribadatan Jamaah Tarekat Naqshabandiyah. Masjid dan mushalla tersebut tersebar di Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk Kilangan. Di Pasar Baru terdapat dua mushala dan di Kecamatan Lubuk Kilangan 29 mushala. Usai melaksanakan shalat jamaah Naqshabandiyah bersalam-salaman dan bermaafan dilanjutkan dengan makan bersama.

Jamaah Al Muhdlor
Sedangkan puluhan jamaah Al Muhdlor yang tersebar di berbagai daerah di sekitar Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Senin (3/6), menggelar shalat Idul Fitri 1440 Hijriah. Penyelenggaraan shalat Id yang dilakukan jamaah tersebut lebih awal dibanding mayoritas umat Islam pada umumnya di Indonesia.

Bertempat di masjid Nur Muhammad yang terletak di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol, Tulungagung, para pengikut ajaran Habib Sayyid Ahmad Bin Salim Al Muhdhor merayakan lebaran pertama mereka dengan menggelar kenduri bersama usai shalat Id dilakukan pada pukul 05.30 WIB.

Shalat Id diimami langsung oleh Habib Hamid Bin Ahmad Al Muhdhor, pengasuh pondok pesantren yang juga putra almarhum Habib Sayyid Ahmad bin Salim Al Muhdhor dan mengklaim memiliki garis turun langsung dengan Nabi Muhammad SAW.

Menurut keterangan Habib Hamid Bin Ahmad Al Muhdhor, perayaan shalat Id lebih awal mereka lakukan setelah menjalani puasa Ramadhan selama 30 hari penuh. "Kami melaksanakan puasa dua hari lebih awal dibanding umat Islam pada umumnya," kata Habib Hamid yang ditemuisehari sebelumnya di dalam komplek pondok modern Al Khoiriyah.

Ia menegaskan pelaksanaan shalat Id maupun puasa Ramadhan lebih awal itu bukan diputuskan sembarangan. "Sudah ada hitung-hitungannya berdasar petunjuk ahli Falaq. Keyakinan ini juga sudah diikuti jamaah Al Muhdhor sejak lama, sejak masa Habib Sayyid Ahmad bin Salim Al Muhdhor masih hidup," kata Habib Hamid.

Namun, ia menegaskan bahwa dirinya dan para jamaah yang menggelar shalat Id awal tak berkenan diliput media. "Ibadah itu urusan yang sangat pribadi. Kami ingin menjalani ibadah dengan tenang dan tidak perlu menjadi sorotan yang nantinya justru memicu perdebatan di masyarakat karena kami menjalani ibadah shalat Id lebih awal dibanding umat Islam pada umumnya," katanya.

Habib Hamid mengatakan, penganut ajaran Al Muhdhor tidak hanya ada di Tulungagung dan sekitarnya. Tapi juga tersebar di sejumlah daerah di Indonesia dan berjejaring hingga di Mesir, Timur Tengah.

"Barometer kami (ajaran Al muhdhor) dari sana (Timur Tengah)," katanya.

Jamaah Al Muhdhor yang mengikuti shalat id tidaklah banyak. Jumlahnya hanya puluhan dan mendekati angka seratusan menurut penuturan beberapa warga dan jamaah setempat.


Tarekat Syattariyah
Sementara Pengikut Tarekat Syattariyah yang tersebar di sejumlah kabupaten Provinsi Aceh juga merayakan Idul Fitri hari ini, Senin (3/6/2019)

Kelompok beraliran Syattariah di Aceh sebagian besar adalah pengikut Habib Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad Yasin alias Habib Muda Seunagan yang dikenal dengan nama Abu Peuleukung.

Pengikutnya tersebar hampir di seluruh Aceh, namun, pusatnya ada di Kabupaten Nagan Raya, tepatnya di Desa Peuleukung, Kecamatan Seunagan Timur, yang merupakan tanah kelahiran sang mursyid.

"Ya, besok kita akan melaksanakan salat Id," kata Teuku Jamalul Alamudin, cucu pertama Abu Peuleukung (54), Minggu malam (2/6/2019).

Salat Id di Desa Peuleukung digelar di Masjid Jamik Abu Habib Muda Seunagan Peuleukueng. Desa ini merupakan tempat di mana sebagian besar keturunan Abu Peuleukung berada.

"Selain di Nagan Raya, ada di Aceh Pidie, Aceh Barat, Abdya, dan Gayo Lues," sebutnya.

Penentuan akhir Ramadan pengikut Syattariah di Aceh menurut Jamalul berdasarkan hisab para ulama yang telah diakui, dan telah berlaku sejak lama. Ketidakseragaman ini juga berlaku pada saat penentuan hilal masuknya bulan suci Ramadan.

"Kalau tidak salah ingat, kita mulai dulu pada Sabtu (4/5/2019)," jelas Jamalul.

Sumber: Antara dan Liputan6.com

Editor: Surya