Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Soekarno-Fatmawati tak Pernah Hina Islam Seperti Sukmawati
Oleh : Redaksi
Selasa | 03-04-2018 | 17:40 WIB
keluarga-bung-karno.jpg Honda-Batam
Keluarga besar Bung Karno. (Foto: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Puisi berjudul 'Ibu Indonesia' yang dibacakan Sukmawati Soekarnoputri menjadi pembicaraan hangat. Sejumlah pihak pun ramai-ramai mengecam, menasehati, hingga melaporkan putri Presiden pertama RI Soekarno dengan Fatmawati itu ke polisi. Alasannya, puisi yang dibacakan Sukmawati dinilai melecehkan agama Islam dan melemahkan nilai keindonesiaan.

 

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pappua, KH Saiful Islam Payage salah seorang yang mengutuk puisi "Ibu Indonesia" yang ditulis Sukmawati. Ia menilai puisi tersebut berbau Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). "MUI Papua mengutuk keras atas puisi yang provokatif Sukmawati," ujar Kiai Saiful kepada Republika.co.id, Senin (2/4).

Kiai Saiful menuturkan, masalah-masalah syariat Islam yang sudah ditetapkan Allah tidak bisa dihalang-halangi siapa pun. Sebab syariat merupakan sesuatu yang sangat penting dalam ajaran Islam. Indonesia dan agama Islam, menurut dia, tidak bisa dilepaskan.

"Agama dan negara itu sudah clear, sudah selesai, bahwa kita bangsa Indonesia mempunyai dasar Pancasila. Sila yang pertama itu Ketuhanan yang Maha Esa," katanya.

Artinya, lanjut dia, orang Indonesia itu tidak boleh ateis ataupun komunis dan menganut paham yang tidak mengakui adanya tuhan yang esa. Selain itu, menurut dia, masyarakat juga tidak perlu lagi mempermasalahkan hal-hal yang sifatnya berbau formalitas agama.

"Sekarang itu bagaimana kita berpikir bagaimana mamajukan bangsa Indonesia ini lahir dan batin," jelasnya.

Ulama asli Papua ini pun mendorong agar MUI pusat mengambil langkah hukum untuk menindaklanjuti puisi Sukmawati tersebut karena dalam puisinya menyinggung tentang syariat Islam. "Mendorong MUI pusat untuk mengambil proses hukum di Indonesia," ucapnya.

Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sodik Mujahid menilai, Sukmawati tidak paham tentang ajaran Islam. Namun, ia meminta Umat Islam Indonesia tidak terpancing dengan penggalan puisi 'Ibu Indonesia'.

Ia menilai, puisi tersebut melecehkan Umat Islam, karena menyinggung cadar dan azan. "Sudah saya katakan itu karena Sukmawati belum bisa menikmati keindahan dan kesyahduan alunan azan dan alunan ayat-ayat Alquran," kata politikus Partai Gerinda, saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (3/4).

Sodik menilai tidak seharusnya Sukmawati membenturkan suatu budaya dengan agama. Sebab bagaimanapun juga sikap merendahkan syariat itu dinilainya bakal memancing ketersinggungan suatu umat beragama. Apalagi, bagi orang-orang beriman syariat seperti azan dan ayat Alquran, kedudukan dan keindahannya di atas budaya seperti kidung.

Bahkan, lanjut Sodik, ketika mukmin sedang beraktivitas mereka akan menghentikan kegiatannya saat mendengar azan serta langsung bergerak ke masjid. "Ribuan orang mukmin bisa menangis ketika mendengar azan dan ayat Alquran. Wajar jika umat Islam merasa dilecehkan karenanya," ucap dia.

Kemudian, Sodik menilai pemahaman agama Sukmawati dengan ayahnya berbeda. Menurutnya, meski Soekarno bersikap nasional dalam pandangan politik, tetapi dalam pemahaman syariatnya terbilang sangat baik.

Pernyataan serupa disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PlI) Nasrullah Larada. Ia menyayangkan puisi Sukmawati soal 'azan, cadar dan tusuk konde'. Bahkan, pernyataan Sukmawati dinilainya menistakan agama Islam.

"Kalau Sukmawati Soekarnoputri tidak paham syariat Islam, itu urusan dia. Namun Sukmawati jangan menghina keyakinan orang lain dan membuat marah marah umat Islam. Puisi yang dibacakan Sukmawati, bukan saja menistakan syariat Islam, namun juga meletupkan benih-benih perpecahan sosial atau SARA," kata Nasrullah, di Jakarta, Selasa (3/4).

Artinya, lanjut Nasrullah, KBPII berharap pihak kepolisian segera mengusut tuntas kasus penistaan syariat Islam oleh Sukmawati. Dan jika pihak berwajib mendiamkan kasus ini, berarti polisi abai terhadap Pancasila.

"Dalam sejarah, Bung Karno tidak pernah bertindak seperti Sukmawati. Dia menghargai, menghormati, dan tahu soal syariat Islam," kata Nasrullah.

Nasrullah mengatakan, Soekarno mengkritik dan berdebat soal isu keislaman dengan Ustaz A Hassan hingga M Nastir. Tetapi, kata Nasrullah, Soekarno tidak pernah sekalipun menghina agama dan umat Islam.

"Bahkan dia (Soekarno) didik dan dibesarkan oleh tokoh pergerakan Islam, yakni Ketua Umum Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto dan dititipkan untuk kuliah di Bandung di rumah Dokter Sanusi yang juga tokoh pergerakan Islam. Di kemudian hari dia malah jadi guru perguruan agama Islam (guru sekolah Muhammadiyah) ketika ditahan di Bengkulu," ujarnya.

Begitu juga dengan almarhumah Ibu Fatmawati. Dia adalah putri konsul pergerakan Islam (Muhammadiyah) di Bengkulu. Hidupnya sangat santun dan salihah. Dia tak pernah menghina agama Islam sebagai agama yang dianutnya. Namanya dikenang sebagai sosok ibu negara yang luar biasa dan punya jasa besar tak ternilai.

Ustaz Yusuf Mansur juga tak ketinggalan menyinggung soal isi puisi Sukmawati. Melalui akun instagramnya ketika dikonfirmasi wartawan soal puisi Sukmawati, Ustaz Yusuf mengingatkan lewat postingan 'Belajar Azan bagian 1 sampai 13'.

"Tidak ada yang lebih indah dari suara azan, demi Allah. Gak mungkin kita gak bergerak dan bergetar kalau kita mengetahui (maknanya) itulah azan," ujar Ustaz Yusuf Mansur, Senin (2/4) waktu Istanbul.

Soal orang Muslim yang membandingkan azan lebih buruk dengan perbandingan lain, menurut dia, barangkali banyak orang yang tidak tahu ketika diperdengarkan azan.

"Sebenarnya siapa sih yang sedang diperkenalkan (dengan azan) itu. Jadi ya wajar juga, itu tanggung jawab kita memperkenalkan. Banyak juga kok di antara kita acuh tak acuh (saat mendengar azan). Ini jadi peringatan dari Allah SWT," tutur Ustaz Yusuf Mansur.

Bayangkan bila seorang raja, presiden, gubernur atau wali kota datang. Ketika disebut dan dipanggil namanya saja semua orang siap-siap. Dari yang posisi santai ke posisi tegap. Ini karena diperdengarkan nama sang raja, presiden, gubernur atau wali kota.

"Ini kan azan, kita mendengar dan diperdengarkan nama Allah SWT langsung, gitu kan. Harusnya kita bangun, bergerak dan menyongsong. Tapi emang kitanya yang lalai sih."

Orang sering mendengar azan tapi tidak tergerak, tidak bergetar. "Jadi ini disentil sama Allah, ketika suara azan diperdengarkan belajar deh. Allahu Akbar.. Allahu Akbar. Nangis kita kalau tahu mah asli," katanya.

Pemilik bisnis Paytren ini, menegaskan azan adalah bentuk satu komitmen sikap, kesepakatan dan prinsip. "Allah Maha Besar.. Allah Maha Besar, tidak ada lagi yang lebih besar dari pada urusan Engkau. Karena itu kita harus sambut, maka belajar terus memahami azan, Insya Allah."

Dengan memahami betul suara dan makna azan tersebut, menurut Yusuf Mansur, sebenarnya Allah seperti mengingatkan tentang komitmen Mulsim. Bahwa benar tidak ada yang lebih besar daripada Allah SWT dengan segala perintahnya, urusannya, suruhannya. Sehingga dengan azan itu ditinggalkan semua urusan dunia, karena tidak ada yang lebih penting.

"Bismillah kita perbaiki, anggap saja ini hikmah dari Allah SWT supaya bisa dinasehatin, bisa diperingatin," ujarnya.

Di bagian belajar azan bagian 11, Yusuf Mansur mengingatkan agar tidak mancing kemarahan, kebencian, kekesalan dan emosi, perseteruan dan permusuhan. Kepada umat Islam ustaz Yusuf Mansur berharap tetap adem, positif, kalem, segera kembalikan kepada Allah SWT, apapun. Tapi tetap berjuang, berzikir dan berdoa, terus memperbaiki diri dan memperbaiki orang lain.

Seolah ingin mengkonter tanpa marah, Ustaz Yusuf mansur berharap pesan Instagram-nya soal azan dengan 13 bagian ini bisa menjadi hikmah, ilmu dan tetap memberi rasa positif bagi umat Islam. "Setiap kejadian pahami sebagai pesan dari Allah SWT, sebagai peringatan-Nya. Sebagai nasihat dari-Nya, Isya Allah kita tetap adem, hati dan pikiran kita," tutup Ustaz Yusuf Mansur dalam Instagramnya 'belajar azan bagian 13'.

Sumber: Republika
Editor: Dardani