Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Apabila PKS Paham Hukum Tata Negara, Tentu Tak Ngotot Dongkel Fahri
Oleh : Irawan
Minggu | 17-12-2017 | 10:00 WIB
irman_putrasidin1.gif Honda-Batam
Pakar Hukum Tata Negara Irman Putrasidin

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Perseteruan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dengan partainya sendiri yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), belum usai meski pengadilan telah memenangkan Fahri. Buktinya, partai pimpinan Sohibul Imam itu bertekad menempuh upaya kasasi untuk medepak kadernya itu, baik dari partai maupun dari DPR RI.

Menanggapi kasus Fahri Vs DPP PKS tersebut, ahli Hukum Tata Negara DR. Irman Putra Sidin SH, MHum dalam keterangan tertulisnya yang diterima wartawan, Sabtu (16/12/2017), menyampaikan pandangannya bahwa upaya PKS untuk mendongkel kadernya itu dari DPR harus dihentikan.

"Fahri Hamzah sudah menang di pengadilan, maka semua upaya politik PKS untuk memberhentikannya di DPR juga harus berhenti," katanya.

Begitu pula, lanjut Irman, jika Fahri kalah di pengadilan dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewidsje) pun, PKS tidak bisa mencopotnya dari kursi pimpinan DPR begitu saja, tanpa melalui mekanisme aturan di DPR.

Proses pemberbentian seorang pimpinan DPR itu adalah melaksanakan rapat paripurna untuk meminta persetujuan apakah Fahri diberhentikan atau tidak. Jika rapat paripurna memutuskan untuk tidak berhenti maka Fahri Hamzah tetap menjadi pimpinan DPR meskipun pengadilan menyatakan-misalnya - pemecatan Fahri Hamzah oleh PKS adalah sah karena semua harus berakhir di paripurna.

"Ingat, pimpinan DPR itu dipilih oleh paripurna dan diberhentikan oleh paripurna. Konstruksi UU MD3/2017 sama dengan konsepsi posisi presiden sebagai elected official (pejabat yang dipilih melalui pemilu), dimana mekanisme pemberhentian presiden tergantung paripurna MPR bukan hasil sidang Mahkamah Konstitusi," paparnya.

Jadi, menurut Irman jika presiden melanggar konstitusi, lalu DPR sampai pada mengambil tindakan Hak Menyatakan Pendapat, dan MK kemudian bersidang bahwa presiden telah melanggar konstitusi, pemberhentian presiden bukanlah oleh MK, tapi dilemparkan ke MPR.

"Jika MPR memutuskan melalui suara terbanyak, presiden tak perlu diberhentikan, maka meski putusan MK presiden bersalah melanggar konstitusi, tetap presiden tak bisa dilengserkan," katanya menjelaskan.

Menurutnya, jika putusan MK bahwa presiden tidak melanggar konstitusi, maka upaya politik di DPR berhenti. Demikian pula domain pemberhentian pimpinan DPR, hanya oleh paripurna.

"Jadi seandainya Fahri Hamzah kalah pun di pengadilan, belum tentu bisa membuat Fahri berhenti sebagai pimpinan karena tergantung putusan paripurna. Dalam hal jika Fahri menang di pengadilan, maka parpol tidak boleh lagi melakukan upaya politik di DPR dan mengabaikan putusan pengadilan," tegas Irman Putra Sidin.

Diketahui, setelah kalah di Pengadilan Tinggi Jakarta, PKS memutuskan tetap melanjutkan untuk mengajukan kasasi di MA perihal pemecatan Fahri Hamzah.

Ketua Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zainudin Paru mengatakan, pihaknya akan melakukan upaya kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta yang memenangkan Fahri Hamzah.

Menanggapi hal tersebut, Fahri Hamzah mempersilahkan pihak PKS untuk mengajukan kasasi. Meskipun demikian, Fahri Hamzah mengingatkan kepada elit PKS agar tidak menggunakan partai untuk emosi dan dendam pribadi, sebab akan membuat partai menjadi hancur.

Editor: Surya