MK Putuskan Pejabat hingga Aparat Hukum Langgar Netralitas Pilkada Bisa Dipidana!
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 15-11-2024 | 09:24 WIB
mahkamah_konstitusi_gedung1.jpg
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. (Foto: Dok.Batamtoday)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan mengenai kepastian sanksi pelanggaran netralitas pejabat negara, pejabat daerah dan TNI/Polri dalam Pilkada. MK memutuskan pejabat daerah dan TNI/Polri dapat disanksi pidana jika melanggar netralitas.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang MK dengan perkara 136/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024). Perkara tersebut menguji materiil Pasal Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015.

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.

"Menyatakan ketentuan norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walkota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) sebagaimana undang-undangnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilhan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)"," sambungnya.

Dalam pertimbangannya, MK menilai netralitas aparatur negara, baik sipil maupun milter, dalam pilkada merupakan prinsip dasar untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. MK berpandangan, dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan serta hak warga negara untuk mengikuti pikada sesuai prinsip jujur dan adil.

"Netralitas aparatur negara akan meningkatan kualitas demokrasi serta memastikan pikada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu," ujar Hakim MK Arief Hidayat.

Arief mengatakan DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU telah melakukan revisi pada Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015, dengan menambahkan dua subjek hukum yakni pejabat daerah dan TNI/Polri dalam Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016. Namun, Arief menyampaikan perubahan pasal tersebut, tidak diikuti oleh Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015.

"Oleh karena UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 UU 1/2015, sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tersebut tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015. Padahal, norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang kemudian diubah dalam UU 10/2016 bukan merupakan norma yang bersifat lex imperfecta, melainkan merupakan norma yang dibuat dengan akibat atau konsekuensi hukum," jelasnya.

MK menilai terdapat perbedaan cakupan subjek hukum antara Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 dengan Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016. MK berpandangan tidak terakomodirnya pejabat daerah dan TNI/Polri dalam Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015, akan menimbulkan permasalahan dalam penegakkan hukum.

"Misalnya, (i) kedua subjek hukum tersebut berpotensi menjadi tidak dapat diproses pidana meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016; atau setidaknya (i) timbul perdebatan mengenai keabsahan proses penegakan hukum terhadap kedua subjek hukum a quo," ungkap Arief.

"Dalam batas penalaran yang wajar, kedua keadaan yang potensial terjadi akibat ketidaksesuaian rumusan norma primer dan sekunder antara kedua pasal a quo, menurut Mahkamah, menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945," imbuhnya.

Berikut Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 sebelum diubah MK:

Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Diubah menjadi:

Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Sumber: Detik
Editor: Dardani